Di Balik Layar Penyusunan Buku Sejarah N8: Peliputan Kebun

Jumat terakhir di bulan Januari 2010 mungkin menjadi salah satu hari yang tidak terlupakan bagiku. Sore itu kontrak penulisan buku sejarah PTPN 8 bernilai 9 digit diteken. Mulai saat itu, setiap menit begitu berharga karena target yang diinginkan adalah penulisan dan peliputan selesai dalam 1 bulan! Padahal dalam proposal tertulis 3 bulan.

Empat puluh satu kebun milik N8 harus disambangi dan dicari “cerita”nya. Puluhan tetua kebun harus diwawancara. Lima saksi sejarah harus digali ingatannya sedalam mungkin. Bermacam buku dan artikel harus dibaca. Semua itu harus dikerjakan dan ditulis menjadi 110 halaman A4 dalam waktu 1 bulan!

Sabtu dan Minggu menjadi ajang bertukar pikiran bagi empat penulis yang ditunjuk. Semua konsep dan pandangan dijabarkan. Sukur, pondasi gagasan sudah kuat. Outline pertanyaan sudah tersusun rapi. Siap berangkat.

Hari senin, tanggal pertama di bulan Februari, kami berempat berangkat ke kantor N8 di Bandung. Ploting pembagian wilayah peliputan dilakukan. Waktu maksimal untuk menggarap semua kebun tersebut hanya 1 minggu. Aku mendapat wilayah Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Delapan kebun harus kueksplorasi, yaitu kebun Dayeuh Manggung, Cisaruni, Papandayan, Bunisari Lendra, Mira Mare, Bagjanegara, Batu Lawang, dan Cikupa. Tiga kebun pertama mengusahakan teh, selebihnya karet dan sedikit kakao.

Petualangan dimulai. Segala perlakuan dikondisikan untuk membuatku nyaman dan bisa fokus pada peliputan. Mess kebun yang kutiduri selalu nyaman dan punya stok teh walini yang cukup. Makanan tidak pernah kurang kuantitas dan kualitasnya. Aku jarang sekali menenteng tasku sendiri, ada petugas khusus yang ditugaskan untuk itu. Kehidupan bagai raja, jauh sekali dari aslinya. Agak risih juga menerima perlakuan setinggi ini. Aku merinding ketika di kebun Cikupa, pelayan yang bertugas melayaniku selalu duduk jongkok ketika Aku ajak bicara karena merasa dirinya jauh lebih rendah dariku, agh, seperti zaman feodal saja. Seorang pendamping peliputan diikutsertakan untuk membantuku. Apapun yang kuinginkan dalam rangka penggalian cerita diamini.

Sedikit cerita, di kebun Bunisari Lendra, Aku belum puas dengan nara sumber tetua yang diajukan pengelola kebun. Umurnya masih 60-an. Aku memaksa dengan halus untuk dicarikan nara sumber yang sudah 70-an. Mereka mencoba membujukku, tapi Aku tetap merasa tulisan masih kering tanpa nara sumber lain. Maka kemudian seorang staf diutus menjelajah kampung mencari tetua yang kumau. Saat kurasa cukup, baru perjalanan dilanjutkan.

Antara kebun satu ke kebun lain, Aku diberikan mobil lengkap dengan supirnya, biasanya Rocky atau Taft. Rata-rata perjalanan antarkebun 2 jam. Jaraknya mungkin dekat, tapi jalan menuju kebun itu tidak semulus tol Cipularang. Tidak jarang kutemui berkilo-kilo jalan berbatu.

Menuju dan dari Kebun Mira Mare, Aku melintasi pantai selatan. Sedikit hiburan mata di tengah riuhnya peliputan. Jalur selatan jalannya lebih kecil dan lebih berkelok dari jalur utara (pantura). Jalan lebih sepi dan lebih banyak pepohonan dan gunung yang tampak.

Waktu terasa kuhabiskan begitu efisien. Dalam 1 hari Aku bisa mengeksplorasi 2 kebun, itupun sudah menghitung waktu perjalanan. Aktivitas kumulai sejak matahari memberikan sinar untuk menerangi jalanku. Setelah menyeruput teh Walini, Aku keliling emplasemen dan pabrik. Kantor kebun buka pukul 7 pagi. Biasanya tetua sudah siap sebelum kantor buka.

Selama jadi wartawan Agro Observer, Aku biasanya menunggu nara sumber datang. Tapi selama peliputan kebun, aku yang sering ditunggu. Para tetua itu selalu datang in time. Keadaan paling ekstrim, saat di kebun Papandayan, Aku ditunggu sejak sore kemudian baru datang malam. Berjam-jam 2 tetua itu menungguku. Mereka selalu berdandan rapi seperti mau ke pesta pernikahan ketika bertemu denganku, seakan mau ketemu dengan orang besar. Pada umumnya, mereka memakai batik lengan panjang mengkilat. Aku tahu, itu adalah salah satu pakaian terbaik yang mereka miliki.

Beberapa kebun punya cerita menarik. Kebun teh Dayeuh Manggung letaknya di sekeliling gunung Cikuray. Saat membuka pintu mess, Cikuray langsung menyapa. Mengetahui mess yang nyaman dan punya banyak teh Walini itu diperuntukkan hanya untuk tamu N8 dan tamu penting, membuatku merasa sangat beruntung bisa mendiaminya walau cuma semalam. Pagi hari itu, Aku sempatkan berjalan ke pabrik teh ortodoks untuk mengumpulkan wewangian dari daun teh yang sedang dilayukan. Aku menarik napas maksimal sampai rongga dada dan perutku penuh untuk menikmati setiap kubik udara pelayuan.

Memasuki emplasemen Cisaruni, terlihat tugu Karel Frederick Holle. Ia pendiri perkebunan Waspada yang kemudian tersisa sebagiannya saja: Cisaruni. Karel adalah pembelajar tanpa henti, sejarawan terkemuka, sastrawan Sunda yang dikagumi, sekaligus pengusaha teh handal. Sambil menikmati teh Walini, Aku berpikir, “Garut berhutang banyak padanya.”

Dinamakan kebun Papandayan karena letaknya berdampingan dengan gunung Papandayan. Sayang Aku tidak sempat berkunjung ke kawah Papandayan, mungkin lain kali. Perjalanan menuju Papandayan kutempuh di sore menjelang malam hari. Jalan berkelok, tanpa lampu jalan, dan penuh dengan kabut.

Wawancara sesepuh Papandayan. Dok: Iqbal

Bunisare Lendra adalah kebun karet pertama yang kugarap. Banyak bungalow yang tersedia untuk disewakan. Seluruh bagian bungalow terbuat dari kayu dan bambu. Tepat di depan bungalow yang kutempati, terdapat mushola yang dibuat menjorok ke tengah-tengah kolam.

Mira Mare dulunya adalah hutan belantara. Banyak banteng liar di dalamnya. Sampai-sampai, pengelola kebun memanfaatkan fenomena itu dengan membuat “wisata banteng”. Setiap tamu yang datang ke kebun Mira Mare disuguhi wisata unik ini. Pada malam hari, mereka dibangunkan untuk kemudian menuju hutan. Mereka dibekali lampu sorot. Banteng merasa silau dengan lampu sorot sehingga banteng diam tak berkutik. Di saat itu, para wisatawan mulai menghitung banteng yang terpana tersebut. Dalam 1 gerombolan, biasanya terdapat 180 banteng. Namun sejak tahun 90-an, Banteng banyak enyah sehingga wisata banteng dibekukan.

Seluruh perjalanan kunikmati dengan maksimal apalagi selalu ditambah kesegaran teh Walini. Hobiku untuk berbicara dengan orang asing, mengenal budaya lain, mendengar cerita baru, dan bertualang kudapat dengan penuh. Semua wilayah garapanku berada di remote area. Benar kata Eross, “Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya, hakikat manusia….” Semakin jauh dari habitat asalku, semakin dekat Aku dengan-Nya.

Perjalanan terasa melelahkan tapi sangat kunikmati. Seperti gamers yang diberikan games baru favoritnya. Suatu saat pasti merasa lelah lalu memutuskan berhenti sesaat untuk kemudian melanjutkannya lagi di waktu yang lain…=)

Penulis: Iqbal

cinta dunia jurnalistik dan rekayasa genatika...

10 tanggapan untuk “Di Balik Layar Penyusunan Buku Sejarah N8: Peliputan Kebun”

  1. bal..ini farchan, kalo ke Ciamis mampir dan hubungi aku..kebetulan aku ngurusin perkebunan PTPN VIII yang ada di wilayah ciamis..
    beberapa bulan ini aku udah berkali-kali keluar masuk kebun PTPN VIII.

    🙂

  2. mas iqbal,saya ridwan anak unpad..kebetulan saya lgi nyusunn skripsi tentang sejarah perkebunan dayeuhmanggung..apa mas iqbal mempunyai data sejarah dayeuh mangung???mohon bantuannya.makasih

  3. salam kenal mas iqbal. sy aliya dari itb. mau tanya, kalau ke perkebunan bunisari lendra dan miramare itu gak dilewati kendaraan umumkah? dulu mas iqbal naik apa ke sana? saya juga berencana ke sana untuk ambil sampel tugas akhir.. terimakasih mas sebelumnya..mhn bantuannya.

  4. Ping-balik: busana muslimah
  5. Sy merasa sedih bnget baca ceritanya teringat masa kecilku yg slalu berpindah dr batulawang mira mare nagara maupun cisompet yg masuk wil. Bunisari, sayang skali jika rmh2 peninggalan jaman dulu sdh tidak terurus, keluargaku pulang ke bdg stelah bapaku meninggal dlm masa dinasmya, sampai saat ini jika ada waktu kami slalu mengunjungi rmh kenangan masa kecil tp blm ksampaian smuanya.

Tinggalkan komentar