Di Balik Layar Penyusunan Buku Sejarah N8: Riset Foto (Ciamis-Garut-Tasik)

Awalnya, kami tim penyusun berpikir, lebih efektif meminta tiap kebun untuk memotret kantor kebun atau bangunan khas di kebunnya sendiri, lalu mengirimnya ke kami. Setelah dilakukan, rupanya hasil tidak memuaskan. Pertama karena sudut pengambilaan jelek. Kedua karena resolusi gambar kecil sehingga gambar pecah jika diregangkan.

Direksi N8 pun menganggap foto tidak bagus untuk dimasukkan ke buku. Diambil keputusan, dua tim kembali mengitari 41 kebun milik N8 pada pertengahan Juli 2010 untuk memotret ulang. Aku adalah salah satunya.

Selasa, 13 Juli 2010

Pukul 8 pagi, Aku sudah siap di kantor N8 di Karang Setra. Hal paling menyenangkan menunggu di ruang tamu direksi adalah kebebasan menghabiskan teh Walini yang segar itu. Pukul 9.30 berangkat menuju Kebun Dayeuh Manggung, perjalanan sekitar 2 jam. Di sini ada rumah administratur yang disambungkan dengan mess melalui jalan kecil. Gedung ini peninggalan Belanda yang sempat terkena gempa Tasik pada tahun 2009. Satu lagi bangunan peninggalan Belanda adalah bangunan yang sekarang dijadikan rumah karyawan.

Di lemari es ruang tunggu direksi, tamu bebas mengambil teh Walini sesukanya. Dok: Iqbal

Sebetulnya Aku lebih cenderung memilih bangunan pabrik sebagai icon kebun ini. Tulisan “Dayeuh Manggung” yang besar dan bangunan yang kokoh menjadikannya lebih gagah. Lebih-lebih kalau kamera merumput, gambar akan lebih gagah. Namun, bangunan ini bukanlah peninggalan Belanda.

Menuju Cisaruni dibutuhkan waktu hampir 1 jam. Sejak awal, Aku rasa yang paling cocok untuk dijadikan icon kebun ini adalah tugu Holle yang ada di samping kantor. Walau baru dibangun, tapi ini sangat khas, tidak ada di kebun lain. Lebih-lebih, KF Holle adalah salah satu orang yang berkontribusi besar membangun perkebunan di Jawa Barat, terutama teh. Kantor juga bangunan baru, tapi dari luar terlihat kurang terurus. Rumah karyawan memang termasuk bangunan lama, tapi bangunannya biasa-biasa saja.

Lanjut ke Papandayan. Di sini bingung karena tidak ada bangunan peninggalan Belanda, sedangkan bangunan kantor yang ada kurang bagus. Tapi untung ada foto jadul yang dipajang, bangunan pabrik teh Papandayan, tapi entah itu tahun berapa. Menjelang Magrib, Aku langsung meluncur ke Bunisari Lendra. Sengaja menginap di sini supaya besok pagi bisa langsung motret. Administratur yang menyambut kami adalah penggila Harley Davidson. Dia cerita banyak bagaimana setiap pembelian motor Harley tercatat di kantor pusatnya sana dan bagaimana orang bisa sampai mencintai Harley sebegitunya.

Rabu, 14 Juli 2010

Cahaya sudah bispak pada pukul 6.15. Rumah administratur yang sekarang adalah bekas peninggalan Belanda. Bangunannya masih bagus dan terawat. Ini target utama. Ada juga rumah kepala tanaman, kebetulan rumah itu tidak terhalang pohon, jadi cahaya matahari pagi lumayan mendongkrak kualitas gambar.

Pukul 8.30, Aku lepas landas menuju Mira Mare, sampai sekitar pukul 10.30. Di sini banyak bangunan tua. Tapi yang paling Aku andalkan adalah rumah administratur. Pertama karena ini bangunan peninggalan Belanda. Kedua karena ini satu-satunya bangunan administratur yang dua lantai. Ketiga karena bahan bangunannya terbuat dari kayu sereh.

Pukul 11 lanjut ke Bagjanegara, sampai pukul 13.30. Di sini perjalanannya luar biasa enak dipandang. Jalannya beriringan dengan pinggir pantai selatan. Namun, di kebun Bagjanegara sendiri, Aku kecewa karena tidak ada satupun bangunan peninggalan Belanda dan tidak ada bangunan bagus yang bisa dibanggakan.

Pukul 14 lanjut ke Batu Lawang. Di perjalanan, Aku melewati Jembatan Cirahong. Jembatan ini sangat unik karena di atas jembatan adalah jalur rel kereta api yang masih aktif digunakan. Hanya mobil dan motor yang bisa melewati jembatan ini. Ada dikutip bayaran, motor kalau tidak salah Rp500, mobil Rp1000. Kalau lewat jalur lintas selatan, Bagjanegara-Batu Lawang ditempuh 3 jam, kalau lewat jalan pintas jembatan Cirahong, hanya tinggal 2 jam saja.

Jembatan Cirahong. Dok: Iqbal

Pukul 16.30 (setelah makan di jalan), Aku sampai lalu langsung motret. Mess dan kantornya adalah bangunan Belanda. Namun, kantor sudah dipoles dengan cat baru sehingga kesan Belandanya sudah berkurang, sedangkan mess biasa saja, tidak bagus, walaupun tidak jelek juga. Untungnya, di dalam mess, Aku menemukan foto pajangan pabrik Cisaga yang dibangun tahun 1908 masih aktif. Sekarang, bangunan itu masih ada tapi sudah tidak terurus dan tidak digunakan. Menjelang magrib, Aku menuju Cikupa untuk menginap. Perjalanannya tepat satu jam.

Mess di sana lumayan nyaman, ada ruang tamu besar yang biasa digunakan untuk makan dan bersantai. Di dalam ruang tamu besar itu, ada sebuah kamar cukup luas yang jarang diinapi oleh orang yang sudah tahu cerita di balik kamar itu…=) Kamar di luar ruang tamu, walaupun kecil, tetap dipilih menjadi kamar favorit, walaupun juga terkadang membuat bulu roma berdiri, maklum bangunan Belanda.

Di Balik Layar Penyusunan Buku Sejarah N8: Peliputan Kebun

Jumat terakhir di bulan Januari 2010 mungkin menjadi salah satu hari yang tidak terlupakan bagiku. Sore itu kontrak penulisan buku sejarah PTPN 8 bernilai 9 digit diteken. Mulai saat itu, setiap menit begitu berharga karena target yang diinginkan adalah penulisan dan peliputan selesai dalam 1 bulan! Padahal dalam proposal tertulis 3 bulan.

Empat puluh satu kebun milik N8 harus disambangi dan dicari “cerita”nya. Puluhan tetua kebun harus diwawancara. Lima saksi sejarah harus digali ingatannya sedalam mungkin. Bermacam buku dan artikel harus dibaca. Semua itu harus dikerjakan dan ditulis menjadi 110 halaman A4 dalam waktu 1 bulan!

Sabtu dan Minggu menjadi ajang bertukar pikiran bagi empat penulis yang ditunjuk. Semua konsep dan pandangan dijabarkan. Sukur, pondasi gagasan sudah kuat. Outline pertanyaan sudah tersusun rapi. Siap berangkat.

Hari senin, tanggal pertama di bulan Februari, kami berempat berangkat ke kantor N8 di Bandung. Ploting pembagian wilayah peliputan dilakukan. Waktu maksimal untuk menggarap semua kebun tersebut hanya 1 minggu. Aku mendapat wilayah Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Delapan kebun harus kueksplorasi, yaitu kebun Dayeuh Manggung, Cisaruni, Papandayan, Bunisari Lendra, Mira Mare, Bagjanegara, Batu Lawang, dan Cikupa. Tiga kebun pertama mengusahakan teh, selebihnya karet dan sedikit kakao.

Petualangan dimulai. Segala perlakuan dikondisikan untuk membuatku nyaman dan bisa fokus pada peliputan. Mess kebun yang kutiduri selalu nyaman dan punya stok teh walini yang cukup. Makanan tidak pernah kurang kuantitas dan kualitasnya. Aku jarang sekali menenteng tasku sendiri, ada petugas khusus yang ditugaskan untuk itu. Kehidupan bagai raja, jauh sekali dari aslinya. Agak risih juga menerima perlakuan setinggi ini. Aku merinding ketika di kebun Cikupa, pelayan yang bertugas melayaniku selalu duduk jongkok ketika Aku ajak bicara karena merasa dirinya jauh lebih rendah dariku, agh, seperti zaman feodal saja. Seorang pendamping peliputan diikutsertakan untuk membantuku. Apapun yang kuinginkan dalam rangka penggalian cerita diamini.

Sedikit cerita, di kebun Bunisari Lendra, Aku belum puas dengan nara sumber tetua yang diajukan pengelola kebun. Umurnya masih 60-an. Aku memaksa dengan halus untuk dicarikan nara sumber yang sudah 70-an. Mereka mencoba membujukku, tapi Aku tetap merasa tulisan masih kering tanpa nara sumber lain. Maka kemudian seorang staf diutus menjelajah kampung mencari tetua yang kumau. Saat kurasa cukup, baru perjalanan dilanjutkan.

Antara kebun satu ke kebun lain, Aku diberikan mobil lengkap dengan supirnya, biasanya Rocky atau Taft. Rata-rata perjalanan antarkebun 2 jam. Jaraknya mungkin dekat, tapi jalan menuju kebun itu tidak semulus tol Cipularang. Tidak jarang kutemui berkilo-kilo jalan berbatu.

Menuju dan dari Kebun Mira Mare, Aku melintasi pantai selatan. Sedikit hiburan mata di tengah riuhnya peliputan. Jalur selatan jalannya lebih kecil dan lebih berkelok dari jalur utara (pantura). Jalan lebih sepi dan lebih banyak pepohonan dan gunung yang tampak.

Waktu terasa kuhabiskan begitu efisien. Dalam 1 hari Aku bisa mengeksplorasi 2 kebun, itupun sudah menghitung waktu perjalanan. Aktivitas kumulai sejak matahari memberikan sinar untuk menerangi jalanku. Setelah menyeruput teh Walini, Aku keliling emplasemen dan pabrik. Kantor kebun buka pukul 7 pagi. Biasanya tetua sudah siap sebelum kantor buka.

Selama jadi wartawan Agro Observer, Aku biasanya menunggu nara sumber datang. Tapi selama peliputan kebun, aku yang sering ditunggu. Para tetua itu selalu datang in time. Keadaan paling ekstrim, saat di kebun Papandayan, Aku ditunggu sejak sore kemudian baru datang malam. Berjam-jam 2 tetua itu menungguku. Mereka selalu berdandan rapi seperti mau ke pesta pernikahan ketika bertemu denganku, seakan mau ketemu dengan orang besar. Pada umumnya, mereka memakai batik lengan panjang mengkilat. Aku tahu, itu adalah salah satu pakaian terbaik yang mereka miliki.

Beberapa kebun punya cerita menarik. Kebun teh Dayeuh Manggung letaknya di sekeliling gunung Cikuray. Saat membuka pintu mess, Cikuray langsung menyapa. Mengetahui mess yang nyaman dan punya banyak teh Walini itu diperuntukkan hanya untuk tamu N8 dan tamu penting, membuatku merasa sangat beruntung bisa mendiaminya walau cuma semalam. Pagi hari itu, Aku sempatkan berjalan ke pabrik teh ortodoks untuk mengumpulkan wewangian dari daun teh yang sedang dilayukan. Aku menarik napas maksimal sampai rongga dada dan perutku penuh untuk menikmati setiap kubik udara pelayuan.

Memasuki emplasemen Cisaruni, terlihat tugu Karel Frederick Holle. Ia pendiri perkebunan Waspada yang kemudian tersisa sebagiannya saja: Cisaruni. Karel adalah pembelajar tanpa henti, sejarawan terkemuka, sastrawan Sunda yang dikagumi, sekaligus pengusaha teh handal. Sambil menikmati teh Walini, Aku berpikir, “Garut berhutang banyak padanya.”

Dinamakan kebun Papandayan karena letaknya berdampingan dengan gunung Papandayan. Sayang Aku tidak sempat berkunjung ke kawah Papandayan, mungkin lain kali. Perjalanan menuju Papandayan kutempuh di sore menjelang malam hari. Jalan berkelok, tanpa lampu jalan, dan penuh dengan kabut.

Wawancara sesepuh Papandayan. Dok: Iqbal

Bunisare Lendra adalah kebun karet pertama yang kugarap. Banyak bungalow yang tersedia untuk disewakan. Seluruh bagian bungalow terbuat dari kayu dan bambu. Tepat di depan bungalow yang kutempati, terdapat mushola yang dibuat menjorok ke tengah-tengah kolam.

Mira Mare dulunya adalah hutan belantara. Banyak banteng liar di dalamnya. Sampai-sampai, pengelola kebun memanfaatkan fenomena itu dengan membuat “wisata banteng”. Setiap tamu yang datang ke kebun Mira Mare disuguhi wisata unik ini. Pada malam hari, mereka dibangunkan untuk kemudian menuju hutan. Mereka dibekali lampu sorot. Banteng merasa silau dengan lampu sorot sehingga banteng diam tak berkutik. Di saat itu, para wisatawan mulai menghitung banteng yang terpana tersebut. Dalam 1 gerombolan, biasanya terdapat 180 banteng. Namun sejak tahun 90-an, Banteng banyak enyah sehingga wisata banteng dibekukan.

Seluruh perjalanan kunikmati dengan maksimal apalagi selalu ditambah kesegaran teh Walini. Hobiku untuk berbicara dengan orang asing, mengenal budaya lain, mendengar cerita baru, dan bertualang kudapat dengan penuh. Semua wilayah garapanku berada di remote area. Benar kata Eross, “Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya, hakikat manusia….” Semakin jauh dari habitat asalku, semakin dekat Aku dengan-Nya.

Perjalanan terasa melelahkan tapi sangat kunikmati. Seperti gamers yang diberikan games baru favoritnya. Suatu saat pasti merasa lelah lalu memutuskan berhenti sesaat untuk kemudian melanjutkannya lagi di waktu yang lain…=)