Pandemi membuat kita terbatas bergerak. Coba saja lihat event lari, mana ada lagi? Ada sih satu dua, itupun virtual. Yah, virtual mana seru. Orang yang dicari ramainya, dan water station-nya.
Di beberapa bulan awal saya tinggalkan olah raga sama sekali. Tidak lari sama sekali. Sebelum pandemi lumayan rajin, setidaknya seminggu sekali adalah lari sekitar 1 jam. Setelah pandemi, hilang kebiasaan itu.
Dipikir-pikir, pengganti yang cocok apa ya? Pikiran saya terarah ke skipping alias lompat tali. Kan tidak perlu ke mana-mana tuh. Dan bisa dilakukan di bawah matahari. Jadi bisa sambil berjemur pagi.
Soal tali skipping, saya sudah gonta-ganti empat kali. Pertama saya beli yang termurah, harganya cuma Rp8 ribu. Di market place itu banyak banget dan mudah dijumpai. Gambar-gambarnya menarik hati, karena berwarna-warni dan ada counter-nya juga, jadi sudah berapa kali lompat itu bisa terhitung…. katanya.

Dibeli deh tuh yang skipping warna-warni. Betul bisa buat lompat tali, tapi talinya terlalu ringan, kurang cocok buat saya. Dan counter-nya tidak berjalan. Masih saya gunakan sambil cari skipping yang lain.
Dapat skipping kedua, warnanya hitam full dari ujung ke ujung. Harganya Rp15 ribu. Talinya tidak terlalu enteng seperti yang pertama. Cocok saya sama yang kedua ini. Tapi dipakai sekitar sebulan sudah putus talinya karena tergesek ujung gagangnya. Karena tali masih panjang, saya masih pertahankan. Satu tangan pegang gagang, satu tangan pegang ujung tali. Agak melintir-melintir sih, tapi ayunannya masih enak. Dua minggu setelahnya, tali ujung satunya lagi putus.

Ganti yang ketiga, coba beli yang sederhana saja, yang gagang kayu dan tali putih, harga Rp8 ribu. Eh ternyata kependekan talinya.

Akhirnya yang keempat nih, paling bagus, masih awet sampai sekarang. Harganya Rp38 ribu. Warnanya hitam, ada tulisan “Sowell” nya di gagang. Ini paling nyaman. Sampai sekarang talinya masih awet. Sudah saya pakai berbulan-bulan. Seminggu sekitar 4-5 kali, sekalinya itu sekitar 10-15 menit untuk seribu lompatan.

Nah, untuk sampai ke seribu lompatan ini ada proses. Awalnya 200 lompatan saja sudah ngos-ngosan. Di awal saya target 500 lompatan. Ini susahnya bukan main, karena belum biasa. Hitungannya saya manual tanpa alat, ya dihitung saja dengan mulut berbisik.
Mungkin sekitar 1-2 bulan baru saya terbiasa dengan 500 lompatan. Lalu ditarget jadi seribu lompatan tiap pagi, sambil berjemur. Sama, awalnya berat. Tapi sebulan kemudian sudah biasa. Saat tulisan ini dibuat, saya sudah terbiasa dengan seribu lompatan per hari, dan sudah berjalan sekitar setengah tahun. Biasanya seribu lompatan itu dilalui dalam 10 menit.
Lompatnya itu tidak non-stop. Rata-rata berhenti di 50-100 hitungan. Biasanya terhenti karena tali tersangkut kaki. Tapi kalaupun tidak tersangkut, paling tinggi saya pernah 400 lompatan tanpa henti. Itu betis panas dan agak bergetar.
Suatu kali saya iseng, dari biasanya seribu lompatan, ditingkatkan ke 1.500 lompatan. Ya bisa-bisa saja. Tidak ada keluhan kaki keram di hari itu atau esoknya. Biasa saja. Tapi saya sudah nyaman dengan yang seribu, jadi balik ke seribu lagi.
Apa efeknya? Yang pertama bikin ngantuk hilang, jadi kerja lebih melek. Kedua, entah bagaimana mekanismenya, aura positif muncul. Terlihat dari kesemangatan hari itu, badan terasa lebih ringan. Ketiga, ya tentu saja buat jaga badan tetap sehat kan.