Batas

Stop. Dok: Flickr

Metabolisme dalam seonggok tubuh manusia masih sama misteriusnya dengan galaksi Bimasakti. Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah senyawa pengatur di dalamnyanya karena selalu ditemukan yang baru dan ditemukan lagi yang baru. Tidak ada hormon yang mempunyai kebaikan mutlak dan tidak ada hormon yang mempunyai kejelekan mutlak. Hormon pertumbuhan akan menyebabkan gigantisme kalau kelebihan dan kretinisme kala kekurangan. Ia bermain cantik sehingga ada dalam batas yang diberikan lewat hormon lain. Hormon lain itu dibatasi oleh hormon yang lain lagi. Semuanya terkait berbentuk seperti jaring-jaring makanan. Seperti hutan tropis. Tidak ada tumbuhan yang mendominasi. Semua berjalan dengan seimbang karena saling membatasi.

Terkadang tidak mudah untuk mempertahankan suatu batas. Butuh usaha yang kuat. Sayangnya, justru permasalahannya bukan di seberapa kuat mempertahankan batas, tapi di seberapa paham manusia akan batas yang diberikan padanya. Maka wajar jika terjadi pertentangan mengenai batas yang seharusnya membatasi.

Tantangan semakin berat ketika manusia yang belum paham akan batas membuat batas-batas baru yang terkadang lebih kecil, terkadang lebih besar, dan terkadang sangat besar sehingga mengaburkan batas yang sebenarnya. Namun, masih ada manusia-manusia yang terus menggoreskan kapurnya di batas yang sebenarnya, sehingga, walau samar, masih terlihat bahwa itulah batas yang sebenarnya. Ia mengorbankan kapurnya untuk orang banyak, padahal dia bisa memanfaatkannya untuk keuntungan pribadinya, karena memang itulah perintah dari yang memberi batas.

Mereka membuka kacamatanya ketika sekelilingnya sudah kelewat batas, sekedar untuk memburamkan batas semu itu dan meyakinkan hatinya, “Ini tipu daya.” Mereka mematikan televisinya untuk membunuh siaran-siaran yang menyiarkan batas-batas baru yang tidak sejajar dengan batas yang sebenarnya. Mereka masih konsisten menyiarkan batas mana yang seharusnya menjadi pedoman bagi orang banyak. Mereka menjadi hormon pembatas bagi metabolisme di sekitarnya. Mereka juga menyiapkan kayu bakar-kayu bakar baru untuk tetap menggelorakan api perjuangan.

Sayang, jumlah mereka berbanding terbalik dengan hitungan waktu. Sampai suatu saat nanti, batas sudah mutlak ditinggalkan. Tidak ada manusia yang mengenal Tuhannya. Tidak ada pengemis yang mau diberikan harta. Tidak ada kepercayaan dalam diri siapapun untuk mengejar apapun pascatiada. Baru setelah itu, semua akan menyadari betapa pentingnya batas dan betapa perlunya tetap tidak melewati batas.

Di Balik Layar Penyusunan Buku Sejarah N8: Eksplorasi Pelaku Sejarah

Tuntas menyelesaikan peliputan. Aku mentransfer semua hasil wawancara ke Microsoft Word selama 1 minggu. Dari pagi sampai malam, terkadang sampai pagi lagi, tidak pernah lepas dari laptop. Di sela-sela aktifitas itu, Aku dan tim penyusun berangkat ke Bandung untuk wawancara dengan para pelaku sejarah. Semua cerita di bawah di dapat dari wawancara selama bulan Februari 2010.

Pak Gumbira (baju biru), Pak Pandji (lagi baca), Pak Kurnadi, Pak Kuswandi (baju putih). Dok: Iqbal

Pak Kurnadi Syarif, Pak Dede Suganda, Pak Pandji Natadikara, Pak Gumbira, dan Pak Kuswandi berada satu meja dengan kami membahas kejadian-kejadian pada era nasionalisasi dan sekitarnya. Pak Kurnadi dan Pak Pandji adalah 2 dari 4 orang yang pada saat nasionalisasi pada 10 Desember 1957 ditugaskan merebut kebun-kebun di Jawa Barat dari tangan pengusaha swasta Belanda.

Mereka menceritakan ketika itu umurnya baru sekitar 30 tahun, tapi sudah diperintah negara untuk merebut puluhan kebun dari orang-orang Belanda yang sangat senior bagi mereka. Aku membayangkan seperti pemuda zaman sekarang yang diperintahkan menghadap Aburizal Bakrie lalu mengatakan, “Semua perusahaanmu mulai detik ini Aku yang pegang!”

Ditertawakan? Tentu saja. Para staf Belanda waktu itu mencemooh Pak Kurnadi. Mereka mengatakan dalam beberapa bulan saja, perkebunan akan hancur di tangan Pak Kurnadi. Kenyataannya, beberapa tahun kemudian, produksi kebun meningkat, kualitasnya baik sekali. Staf Belanda yang tadinya menertawakan akhirnya mengakui keberhasilannya. Merinding kepala ini mendengar setiap detail perjuangan Pak Kurnadi. Secara tidak sadar, ia menggelorakan semangat perjuangan bagi yang mendengarnya.

Pak Dede adalah mantan anggota MPR dan juga mantan DPR. Ia banyak memberikan kami literatur. Tapi Aku pribadi agak malas membacanya karena seluruh tulisan yang diberikannya penuh dengan pasal-pasal. Memang penting mengangkat perundang-undangan perkebunan, tapi Aku merasa lebih seru mendalami aspek human interest dari sejarah panjang tersebut.

Perjuangan dengan cara lain dilakukan Pak Gumbira. Ia adalah sosok yang dipercaya memperbaiki PTP (PT Perkebunan) yang dirasa kurang berhasil. Jadi Pak Gumbira selalu didapuk menjadi Dirut di PTP bermasalah. Setelah masalah beres, ia dimutasi lagi ke PTP bermasalah lain, dst. Setiap ia menjadi direktur baru di PTP yang lain, perubahan besar dibawanya. Efisiensi jumlah karyawan sampai sepertiga dari sebelumnya merupakan hal biasa yang kerap dilakukannya. Dialah yang diminta untuk menjadi Dirut PTP Gabungan XI, XII, dan XIII pertama, pada tahun 1994.

Pak Kuswandi tidak seperti tokoh-tokoh di atas yang berjuang di ranah nasional. Ia hanya rajin mengeksplorasi sejarah kebun-kebun di Jawa Barat. Aku berkesempatan menginap di rumahnya di Garut selama 1 malam. Ia punya beberapa vila yang disewakan, nama tempatnya “Bamboo House”. Di situ, Aku mendapat banyak sekali bahan bacaan dan gambar-gambar perkabunan zaman dulu. Bahkan ada satu buku berbahasa Inggris yang banyak mengulas gambar perkebunan dari udara. Gambarnya betul-betul dijepret dari udara dengan tahun jepret 1930-an, mungkin menggunakan kapal terbang atau helikopter.

Satu buku yang betul-betul membuatku bergairah, “Heren van de Thee” atau Bahasa Indonesia-nya “Pengusaha Teh”. Ini buku novel yang diangkat dari kejadian nyata ketika seorang Belanda bernama RE Kerkhoven mendirikan Perkebunan Teh. Gaya hidup Belanda dan sudut pandang mereka tentang pribumi gamblang dituturkan buku ini.

Menyegarkan berbicara bersama orang-orang di atas. Walau ingatan mereka terkadang muncul terkadang tenggelam tak jelas, tapi semangat mereka selalu tinggi. Begitu pentingnya etos kerja bagi mereka. Sedikit, kritikan pedas bergulir bagi para Direksi di kantor pusat perkebunan yang jarang sekali turun ke kebun. Mereka bilang, itulah penyebab kemunduran perkebunan. Tidak seperti zaman mereka dulu yang kehidupannya jauh lebih banyak di kebun daripada di kantor/kota.

Setelah menyergap isi kepala mereka, kami meminta PTPN VIII memberikan fasilitas salah satu vila lengkap dengan konsumsinya selama satu minggu agar kami bisa fokus menulis. Satu jam kemudian tersiar kabar, Rumah Kelapa sudah di-booking untuk kami 4 penulis. Kami mengasramakan diri pada 15-19 Februari 2010 di Rumah Kelapa itu. Letaknya persis di sebelah pabrik teh Gunung Mas, Puncak, jadi wangi harum teh kerap tercium. Alam puncak yang indah, udara yang segar dengan diselingi wangi harum teh, tidak adanya kebisingan, dan makanan yang enak membuatku bisa memproduksi 4 halaman tulisan per hari! Jauh dari capaian biasanya yang hanya 2 halaman per hari.

Sergap Ceremai!

Penghujung Mei 2010 akan menjadi pijakan kuat untuk menerima hukum relativitas Einstein. Satu detik di minggu ini jauh lebih panjang dari satu detik di minggu-minggu biasa. Saya memilih untuk ikut pendakian Tim Sergap ke gunung Ceremai bersama 26 peserta lainnya. Menggilas waktu di tengah suara serangga gunung menjadikan waktu terasa lambat.

Perjalanan dimulai Kamis malam dengan memilih Kampung Rambutan sebagai meeting point. Saya hanya mengenal 3 dari total peserta, selebihnya baru kenal di pendakian ini. Menjadi satu hal menyenangkan tersendiri bisa mengenal kawan-kawan baru karena disatukan hobi yang sama. Mereka sebagian besar adalah karyawan yang bekerja di Jakarta dengan warni latar belakang dan karakter.

Kami harus menunggu salah satu peserta yang sengaja terbang dari Palembang untuk ikut mendaki Ceremai. Jadilah keberangkatan mundur 3 jam, pukul 11 malam. Semua siap dengan carrier-nya masing-masing. Minoritas memilih menggunakan daypack. Tidak mengapa, asal packing bagus, daypack pun cukup.

Angka Rp45 ribu yang tertera di karcis bus Jakarta-Kuningan tidak berlaku malam itu. Kami ditembak dengan harga Rp60 ribu. Apa boleh buat, daripada tidak jadi berangkat. Seluruh bagasi penuh dengan barang bawaan kami sehingga sebagian harus diangkut ke atas bus. Pukul 6 pagi kami sudah sampai. Supir bus memberi kami bonus dengan mengantar langsung sampai Desa Linggarjati yang merupakan satu dari 3 jalur pendakian umum.

Linggarjati berada pada ketinggian 650 mdpl, sedangkan puncak Ceremai ada di ketinggian 3.079 mdpl, berarti perjalanan kami 2.429 meter ke arah langit. Cukup sulit, apalagi Linggarjati adalah jalur terberat menuju puncak Ceremai. Untungnya, dua hari pendakian tidak disisipi dengan hujan setetespun.

Setalah berdoa, pukul 9 pagi pendakian dimulai. Rombongan dibagi menjadi 3 tim, masing-masing 9 orang. Saya masuk tim 3 yang berjalan paling akhir. Hampir di setiap rumah kosong menuju pos 1 (Cibunar-863 mdpl) dan pos 2 (Condang Amis-1.212 mdpl) kami istirahat. Maklum, sebagian dari kami belum terbiasa naik gunung, apalagi dengan jalur terberat dan gunung tertinggi di Jawa Barat. Sepanjang jalan kebanyakan terlihat ladang warga dan hutan pinus. Jalan menanjak tapi masih bisa dibilang landai.

Berkenalan. DOk: Iqbal
Menuju pos pertama. Dok: Iqbal

Pos 3 (Kuburan Kuda-1.450 mdpl), pos 4 (Pangalap-1.673 mdpl), dan pos 5 (Tanjakan Seruni-1.812 mdpl) punya kemiringan yang lebih terjal. Kebetulan, hari itu bertepatan dengan acara Gerakan Sapu Gunung Ceremai, jadi sepanjang jalan, banyak pendaki muda yang berpapasan dengan kami. Saya tanya, dari mana? Kebanyakan mereka menjawab “Dari Kuningan” atau “Dari Cirebon”. Jarang saya temui yang usianya lebih dari SMA. Di usia semuda itu…  Mereka hebat!

Terdengar teriakan dari bawah, “Nyalakan senter!” Entah dari siapa, tapi sepertinya dari tim kami. Rencana awal kami, malam ini menginap di Pengasinan, pos 10, tepat sebelum puncak. Rupanya sudah gelap pun, pos 6 (Bapa Tere-2.146 mdpl) belum terpijak. Tim yang dibentuk sudah kocar-kacir tidak pada tempatnya. Saya, Ben, dan Nina sempat terpisah dari kelompok depan dan belakang. Celakanya, senter saya dan Nina tidak bisa dipakai, padahal kami baru beli senter dan baterainya. Ini memang sering terjadi pada pendakian. Ada yang bilang, tenaga baterai tersedot karena suhu yang rendah. Untungnya masih ada senter Ben.

Kami bertiga cukup jauh terpisah. Saya dan Ben baru pertama kali naik gunung dan tidak tahu banyak tentang gunung. Kami punya dua pilihan, menunggu yang di bawah atau mengejar yang di atas. Awalnya kami menunggu yang di bawah, tapi lama sekali rupanya, teriakan kami pun tak berbalas. Akhirnya kami bersegera menyusul ke atas. Sempat beberapa jauh kami temukan keheningan, tidak ada suara apapun kecuali langkah kami bertiga yang hanya ditemani sorot lampu Ben. Suasana damai setelah terikan “SERGAP” kami berbalas dari atas, semakin keras. Sampai kami bertemu dengan rombongan, Alhamdulillah.

Tanah yang cukup lapang. Agak berundak tapi cukup luas sehingga beberapa orang mengusulkan mendirikan tenda di sini karena melihat kondisi rombongan yang sudah menurun dan hari yang sudah malam, pukul 7 malam. Beberapa orang lagi mengusulkan lanjut ke pos Bapa Tere, berkemah di sana. Akhirnya beberapa orang yang masih kuat dengan meninggalkan bawaanya berjalan ke atas untuk tahu seberapa jauh lagi Bapa Tere. Setengah jam kemudian mereka kembali, “Lebih baik di sini, Bapa Tere masih jauh, kami belum ketemu.”

Jadilah tenda dipasang. Walau terbatas lahan, tapi toh 7 tenda ukuran 3-4 orang masih bisa berdiri tegak. Sementara Aji dan beberapa orang lainnya mulai sibuk menentukan dapur, menyalakan kompor, memotong sayuran, dan menggoreng Nugget. Saya sendiri bingung mau bantu yang mana, takutnya malah merepotkan. Akhirnya serabutan saja, ada yang sedang kesulitan melebarkan penutup tenda, saya bantu. Ada yang menggelar terpal, saya bantu. Maklum, baru pertama kali, jadi masih belum cekatan seperti yang lain.

Sekitar pukul 10 malam, kami sudah mengelilingi buah karya Aji dkk: sewadah nasi, sewadah nugget, dan sewadah capcay. Tiap orang siap dengan wadah kosong dan alat makannya masing-masing. Saya betul-betul tidak menyangka bisa makan makanan senikmat ini di atas gunung. Bisa karena memang makanannya betul enak, bisa karena saya yang kelaparan, bisa jadi keduanya. Yang jelas, semua lahap, lalu lelap.

Sabtu pukul 1 dini hari kami bergegas menyiapkan diri, membawa barang seperlunya. Beberapa orang diberi beban membawa stok makanan dan minuman untuk di atas. Saya banyak berterima kasih pada mereka. Kami tidak menutup tenda. Ada dua orang yang rela tidak muncak untuk menjaga tenda dan memasakkan makanan untuk kami yang akan muncak. Saya juga banyak berterima kasih pada mereka.

Pukul 2 dini hari kami bergerak. Tim tetap dibagi tiga. Jaket, kupluk, dan sarung tangan sepertinya wajib untuk perjalanan sepagi ini. Saya menambahkan penutup leher agar lebih hangat. Jalan kami masih terbata-bata, mungkin karena udaranya yang sejuk ditambah langit yang masih pekat. Tidak ada yang banyak berceloteh. Semua tampak fokus pada pijakan berikutnya dan berikutnya sampai kami melewati Pos 6  dan Pos 7 (Batu Lingga-2.365 mdpl). Pilihan yang tepat karena kami tadi malam berkemah di tempat yang bukan pos itu karena di pos-pos selanjutnya lahan untuk mendirikan tenda lebih sedikit lagi, itupun sudah penuh oleh orang lain.

Berikutnya agak lebih mudah karena matahari sudah menemani. Rombongan saya sempat pijat-pijatan untuk sekedar mereduksi pegal. Cukup menyenangkan dan menyegarkan. Pos 8 (Sangga Buana 1 -2.491 mdpl), Pos 9 (Sangga Buana 2-2.648 mdpl), dan akhirnya Pos 10 (Pangasinan-2.842 mdpl). Saya dan rombongan kedua sampai Pangasinan sekitar pukul 8 pagi. Sebetulnya saya masuk dalam tim 3, tapi formasi sepertinya pecah jadi yang penting jalan saja. Apa saya menyalahi aturan ya? Di setiap pos yang dilewati, Tim Sergap memasang nama pos dengan seng berbalut cat kuning. Jadi, setelah sampai di Pangasinan, tuntas sudah misi pemasangan jalur di tiap pos pendakian.

Masak-masak rupanya terkendala air. Stok air kami sedikit jadilah hanya dibuat beberapa bungkus mi (saya berterima kasih pada yang memasakkan mi). Kami bagi rata mi seadanya itu, masing-masing 2-3 sendok. Itupun sepertinya rombongan terakhir tidak dapat. Mulai dari sini, air sudah menipis. Sebagian sudah tidak memegang sedikitpun air lagi. Tapi puncak tetap menggoda.

Pengasinan menuju puncak adalah jalur paling berat. Tanjakan semakin curam dan seperti tiada henti. Namun itu terobati dengan indahnya padang Edelweis dan cantiknya puncak Ceremai. Sayang, Edelweis waktu itu belum berbunga.

Cuaca begitu mendukung kami. Gelembung awan dan birunya langit bermain cantik di banyak kamera. Sedikit, Gunung Slamet mengintip lalu menutup diri lagi dengan balutan awan. Sampai 25 peserta berhasil menggapai puncak (3.079 mdpl) pada pukul 10 siang. Bangga, berfoto, bergaya. Kami membuat semacam pesta kecil dengan Nata de coco sebagai hidangan utama (dan satu-satunya).

Puncak. Dok: Iqbal

Pukul 11 kami beranjak turun kembali ke tenda (setelah Bapa Tere dari puncak). Beberapa orang berlari atau setengah berlari sehingga bisa sampai pukul 12.30, jadi cuma 1,5 jam! Saya dan beberapa yang lain sampai tenda pukul 3 siang, sedangkan rombongan terakhir sampai pukul 5 sore. Semua mengeluh kehausan sepanjang jalan turun tadi. Saking kehausannya, kami minta-minta air ke tiap orang yang lewat. Ada yang tidak punya stok tapi banyak juga yang memberi. Ada yang memberi beberapa teguk, ada juga yang sampai satu botol. Bahkan, ada yang tanpa diminta langsung menawari, apa butuh air? Kami mengangguk. Satu botol berpindah tangan. Baik sekali orang-orang itu. Mudah-mudahan Tuhan membalasnya dengan yang lebih baik.

Tidak terasa, sepanjang hari ini kami baru makan 3 sendok mi dan beberapa camilan saja. Setibanya di tenda, makanan sudah tersaji, tentu ini buah karya Abas, yang memilih tidak muncak untuk menyajikan makanan senikmat ini. Walau dibatasi, baik makanan maupun minuman, tapi kami tetap makan dengan lahap.

Banyak cerita seru dan lucu yang kami bagi sambil membereskan tenda. Setelah rampung, pukul 6 Maghrib kami sudah melingkar lagi, satu lingkaran besar, semua posisi berdiri. Andi sebagai pimpinan rombongan mengajak kami semua berterima kasih pada banyak pihak yang berkorban lebih pada pendakian kali ini. Tentu kami memberikan tepuk tangan semeriah yang bisa kami beri.

Palu sudah diketuk, kita jalan malam. Mungkin karena pertimbangan ingin sampai Jakarta sebelum Senin. Maka malam minggu ini kami habiskan dengan menuruni Ceremai. Memang, turun lebih mudah daripada naik. Ditambah lagi beban air yang sudah hampir hilang membuat gerakan lebih gesit. Tapi kaki saya sepertinya mulai sulit diajak kompromi. Langkah sulit diatur. Saya mulai sering terpeleset, kadang terjerembab. Tapi katanya keluhan yang tertutur membuat kondisi kita sendiri dan tim makin buruk, teori gunung es otak bawah sadar, jadi sebisa mungkin saya tahan.

Baru lewat dua pos tapi kaki semakin lunglai. Saya prediksi sudah banyak jaringan otot, terutama paha, yang robek. Nihilnya air membuat penderitaan semakin pekat sekaligus menjadi cambuk untuk terus melangkah ke Pos I (Cibunar). Alhamdulillah rombongan kami, rombongan pertama yang berjumlah 12 orang, tidak ada yang mengeluh. Saya tahu mereka kurang lebih sekusut saya kondisi fisiknya, tapi keluhan tetap dipendam. Itu yang membuat kami tetap maju walau sedikit-sedikit. Pukul 10 malam kami sampai di Pos 2 Condang Amis.

Di situ saya langsung terlelap dengan tetap menggunakan carrier. Rupanya sepanjang saya tidur, beberapa orang memasakkan minuman ringan dan bubur untuk yang lain. Saya berterima kasih atas Energen dan Super Buburnya. Terima kasih betul-betul karena bubur itu menjadi enak sekali dan menghapus lapar. Setelah istirahat dan makan minum, saya seperti punya tenaga baru.

Pukul 10.30 malam kami hendak menuju Cibunar, pos impian. Kemarin, ketika naik, Cibunar-Condang Amis ditempuh satu jam. Logikanya, penurunan kali ini akan kurang dari 1 jam. Tapi tidak demikian aturan main malam itu. Kami baru sampai Cibunar Ahad 00.30, atau 2 jam perjalanan! Saya pun tak tahu pasti kenapa. Tapi kecurigaan-kecurigaan banyak bermain di kepala. Mungkin kami diputar-putar, atau terputar-putar. Mungkin karena kami yang sudah kelelahan. Tapi untuk yang kedua agak sulit saya terima karena kami berjalan cukup cepat dan jarang berhenti.

Sempat, kami bingung di satu titik, lurus atau belok kanan menurun. Ada yang yakin lurus ada yang yakin kanan. Akbar yang yakin lurus langsung maju, “Sudah, saya di depan.” Sempat jalan beberapa meter lalu Akbar kembali dengan langkah yang lebih cepat, “Bukan..bukan..bukan.. ini salah, jangan lewat sini.” Kami tanya, “Ada apa Bar?” Dia jawab, “Nanti ceritanya di bawah.” Kemudian baru saya tahu bahwa ia mencium melati dan melihat kuburan.

Jalan kanan turun menjadi logis bagi semuanya. Kami susuri terus. Walau jalan sudah tidak terlalu menurun, tapi terkadang jalan tertutup rumput yang melayang-layang di atas kaki kita sehingga agak sulit menentukan jejak berikutnya. Walau banyak hal aneh antara Condang Amis-Cibunar, tapi Alhamdulillah kami sampai juga pukul 00.30 hari Minggu.

Serotonin seperti berproduksi lipat ganda. Bahagia meluap luar biasa ditambah tawa haru. Saya bersukur pendakian pertama saya kali ini bersama orang-orang yang tepat, bukan pecinta alam yang suka merusak alam, bukan pengeluh, dan bukan amatir. Hahhhh…..

Salah satu kaos Tim Sergap. Dok: Iqbal

Untungnya, sebuah warung buka sampai pagi. Ibu penjaganya juga ramah dan melayani dengan sangat baik seperti tamunya sendiri. Teh manis dan mi rebus langsung kami pesan. Kami bahkan dipersilakan tidur di dalam. tapi kami memilih tidur di luar dengan matras dan sleeping bag. Tidak henti-henti cerita lucu mengalir, tapi beberapa seakan tak perduli dan tetap terpejam.

Pukul 5 subuh, rombongan kedua datang dengan kabar buruk: Ambar terkilir sehingga 6 orang di rombongan terakhir harus pasang tenda lagi di Pos 3 Kuburan Kuda. Tidak ada yang punya tenaga lagi untuk naik sekedar memberikan air atau makanan. Apa boleh buat, kami cuma bisa menunggu mereka yang baru sampai Cibunar pukul 11 siang. Ambar terlihat sehat, tapi beberapa kali dia sempat muntah.

Kami mengejar bus segera. Dari Cibunar jalan sampai Linggarjati lalu pakai jasa angkot ke jalan raya (Rp2 ribu). Sekitar pukul 3 siang kami sudah di bus berbiaya Rp40 ribu (non-AC). Belum lama bergerak, bus sempat mogok dan sempat ada acara dorong bus. MENDORONG SEBUAH BUS! Tapi saya tidak ikut menikmatinya karena mendorong diri sendiri saja kian sulit. Jaringan otot paha semakin banyak yang robek.

Sukur tidak lama kemudian mesin hidup kembali meluncur ke Jakarta. Bus sampai Jakarta pukul 10 malam, lalu berhenti di banyak terminal. Sedikit demi sedikit kami berpisah. Andi, Aank, Bayu, Saya, Ika, dan Putri adalah yang turun di terminal terakhir, Pasar Minggu. Sembari makan, cerita-cerita tersembunyi beredar…. dan selamat malam…=)

Teruntuk Rachel Corrie

Rachel Corry. Doc: http://www.flickr.com

Salam untukmu di sana.

Beberapa hari ini, Aku kerap mendengar namamu dari beberapa media. Sekelompok orang menamakan sebuah kapal dengan namamu karena mereka ingin menularkan semangatmu kepada tiap orang yang ada dalam kapal itu. Rupanya berhasil, semangatmu berkobar tegas. Walau Marvi Marmara ditembaki tentara Israel beberapa hari lalu, tapi kapal dengan namamu itu tetap meluncur ke Gaza tanpa gentar. Persis seperti semangat mudamu dulu. Pidatomu waktu masih sangat belia membuat kepalaku gemetar. Apalagi setelah mereka mengabarkan bahwa kamu mati terlindas tank Israel ketika kamu menghalangi tank itu melantakkan sebuah rumah milik satu keluarga Palestina yang kamu pun tak kenal.

Dua puluh tiga tahun. Dalam usia semuda itu, kamu telah berbuat sangat banyak demi sebuah cita-cita yang sudah kamu kukuhkan sejak kecil, menyelamatkan orang tertindas yang jumlahnya selalu bertambah 40 ribu orang per hari. Kamu telah berbuat sangat banyak sampai meluberkan isi dalam gelasmu sendiri dan membasahi gelas-gelas lain dengan semangatmu.

Aku tidak tahu apa yang membuatmu begitu kuat memegang prinsip dan cita-cita. Kamu meninggalkan hidupmu di Amerika yang penuh dengan kemudahan lalu beranjak ke Gaza. Di saat banyak negara hanya mengecam, engkau berani pasang badan langsung di pusat konflik. Di saat banyak orang hanya mendengar cerita-cerita, engkau melihat langsung seorang anak dibom saat ia tidur dan seorang pemuda yang ditembak mati dengan mata tertutup dan tangan terikat.

Aku sangat lemah. Tidak terbersit sedikitpun pikiran untuk berbuat seperti yang kamu perbuat. Aku hanya bisa menganalisis mana saja produk buatan Yahudi lalu mencoretnya dari daftar belanjaku. Harapannya, Aku bisa mengurangi satu peluru yang kusumbangkan untuk tentara Israel. Ya, hanya satu peluru, dan hanya berupa sebuah harapan. Jauh lebih kecil dibanding apa yang sudah kamu perbuat. Aku hanya memikirkan kehidupan diriku dan orang-orang di sekelilingku, sedangkan engkau memikirkan orang-orang tertindas yang tidak kamu kenal, ratusan ribu kilometer dari rumahmu. Aku sangat jauh dari apa yang sudah kamu perbuat.

Terima kasih atas tamparannya untuk menyadarkanku dan mungkin banyak orang lain.

Muhammad Iqbal