Di Balik Layar Penyusunan Buku Sejarah N8: Eksplorasi Pelaku Sejarah

Tuntas menyelesaikan peliputan. Aku mentransfer semua hasil wawancara ke Microsoft Word selama 1 minggu. Dari pagi sampai malam, terkadang sampai pagi lagi, tidak pernah lepas dari laptop. Di sela-sela aktifitas itu, Aku dan tim penyusun berangkat ke Bandung untuk wawancara dengan para pelaku sejarah. Semua cerita di bawah di dapat dari wawancara selama bulan Februari 2010.

Pak Gumbira (baju biru), Pak Pandji (lagi baca), Pak Kurnadi, Pak Kuswandi (baju putih). Dok: Iqbal

Pak Kurnadi Syarif, Pak Dede Suganda, Pak Pandji Natadikara, Pak Gumbira, dan Pak Kuswandi berada satu meja dengan kami membahas kejadian-kejadian pada era nasionalisasi dan sekitarnya. Pak Kurnadi dan Pak Pandji adalah 2 dari 4 orang yang pada saat nasionalisasi pada 10 Desember 1957 ditugaskan merebut kebun-kebun di Jawa Barat dari tangan pengusaha swasta Belanda.

Mereka menceritakan ketika itu umurnya baru sekitar 30 tahun, tapi sudah diperintah negara untuk merebut puluhan kebun dari orang-orang Belanda yang sangat senior bagi mereka. Aku membayangkan seperti pemuda zaman sekarang yang diperintahkan menghadap Aburizal Bakrie lalu mengatakan, “Semua perusahaanmu mulai detik ini Aku yang pegang!”

Ditertawakan? Tentu saja. Para staf Belanda waktu itu mencemooh Pak Kurnadi. Mereka mengatakan dalam beberapa bulan saja, perkebunan akan hancur di tangan Pak Kurnadi. Kenyataannya, beberapa tahun kemudian, produksi kebun meningkat, kualitasnya baik sekali. Staf Belanda yang tadinya menertawakan akhirnya mengakui keberhasilannya. Merinding kepala ini mendengar setiap detail perjuangan Pak Kurnadi. Secara tidak sadar, ia menggelorakan semangat perjuangan bagi yang mendengarnya.

Pak Dede adalah mantan anggota MPR dan juga mantan DPR. Ia banyak memberikan kami literatur. Tapi Aku pribadi agak malas membacanya karena seluruh tulisan yang diberikannya penuh dengan pasal-pasal. Memang penting mengangkat perundang-undangan perkebunan, tapi Aku merasa lebih seru mendalami aspek human interest dari sejarah panjang tersebut.

Perjuangan dengan cara lain dilakukan Pak Gumbira. Ia adalah sosok yang dipercaya memperbaiki PTP (PT Perkebunan) yang dirasa kurang berhasil. Jadi Pak Gumbira selalu didapuk menjadi Dirut di PTP bermasalah. Setelah masalah beres, ia dimutasi lagi ke PTP bermasalah lain, dst. Setiap ia menjadi direktur baru di PTP yang lain, perubahan besar dibawanya. Efisiensi jumlah karyawan sampai sepertiga dari sebelumnya merupakan hal biasa yang kerap dilakukannya. Dialah yang diminta untuk menjadi Dirut PTP Gabungan XI, XII, dan XIII pertama, pada tahun 1994.

Pak Kuswandi tidak seperti tokoh-tokoh di atas yang berjuang di ranah nasional. Ia hanya rajin mengeksplorasi sejarah kebun-kebun di Jawa Barat. Aku berkesempatan menginap di rumahnya di Garut selama 1 malam. Ia punya beberapa vila yang disewakan, nama tempatnya “Bamboo House”. Di situ, Aku mendapat banyak sekali bahan bacaan dan gambar-gambar perkabunan zaman dulu. Bahkan ada satu buku berbahasa Inggris yang banyak mengulas gambar perkebunan dari udara. Gambarnya betul-betul dijepret dari udara dengan tahun jepret 1930-an, mungkin menggunakan kapal terbang atau helikopter.

Satu buku yang betul-betul membuatku bergairah, “Heren van de Thee” atau Bahasa Indonesia-nya “Pengusaha Teh”. Ini buku novel yang diangkat dari kejadian nyata ketika seorang Belanda bernama RE Kerkhoven mendirikan Perkebunan Teh. Gaya hidup Belanda dan sudut pandang mereka tentang pribumi gamblang dituturkan buku ini.

Menyegarkan berbicara bersama orang-orang di atas. Walau ingatan mereka terkadang muncul terkadang tenggelam tak jelas, tapi semangat mereka selalu tinggi. Begitu pentingnya etos kerja bagi mereka. Sedikit, kritikan pedas bergulir bagi para Direksi di kantor pusat perkebunan yang jarang sekali turun ke kebun. Mereka bilang, itulah penyebab kemunduran perkebunan. Tidak seperti zaman mereka dulu yang kehidupannya jauh lebih banyak di kebun daripada di kantor/kota.

Setelah menyergap isi kepala mereka, kami meminta PTPN VIII memberikan fasilitas salah satu vila lengkap dengan konsumsinya selama satu minggu agar kami bisa fokus menulis. Satu jam kemudian tersiar kabar, Rumah Kelapa sudah di-booking untuk kami 4 penulis. Kami mengasramakan diri pada 15-19 Februari 2010 di Rumah Kelapa itu. Letaknya persis di sebelah pabrik teh Gunung Mas, Puncak, jadi wangi harum teh kerap tercium. Alam puncak yang indah, udara yang segar dengan diselingi wangi harum teh, tidak adanya kebisingan, dan makanan yang enak membuatku bisa memproduksi 4 halaman tulisan per hari! Jauh dari capaian biasanya yang hanya 2 halaman per hari.