Batas

Stop. Dok: Flickr

Metabolisme dalam seonggok tubuh manusia masih sama misteriusnya dengan galaksi Bimasakti. Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah senyawa pengatur di dalamnyanya karena selalu ditemukan yang baru dan ditemukan lagi yang baru. Tidak ada hormon yang mempunyai kebaikan mutlak dan tidak ada hormon yang mempunyai kejelekan mutlak. Hormon pertumbuhan akan menyebabkan gigantisme kalau kelebihan dan kretinisme kala kekurangan. Ia bermain cantik sehingga ada dalam batas yang diberikan lewat hormon lain. Hormon lain itu dibatasi oleh hormon yang lain lagi. Semuanya terkait berbentuk seperti jaring-jaring makanan. Seperti hutan tropis. Tidak ada tumbuhan yang mendominasi. Semua berjalan dengan seimbang karena saling membatasi.

Terkadang tidak mudah untuk mempertahankan suatu batas. Butuh usaha yang kuat. Sayangnya, justru permasalahannya bukan di seberapa kuat mempertahankan batas, tapi di seberapa paham manusia akan batas yang diberikan padanya. Maka wajar jika terjadi pertentangan mengenai batas yang seharusnya membatasi.

Tantangan semakin berat ketika manusia yang belum paham akan batas membuat batas-batas baru yang terkadang lebih kecil, terkadang lebih besar, dan terkadang sangat besar sehingga mengaburkan batas yang sebenarnya. Namun, masih ada manusia-manusia yang terus menggoreskan kapurnya di batas yang sebenarnya, sehingga, walau samar, masih terlihat bahwa itulah batas yang sebenarnya. Ia mengorbankan kapurnya untuk orang banyak, padahal dia bisa memanfaatkannya untuk keuntungan pribadinya, karena memang itulah perintah dari yang memberi batas.

Mereka membuka kacamatanya ketika sekelilingnya sudah kelewat batas, sekedar untuk memburamkan batas semu itu dan meyakinkan hatinya, “Ini tipu daya.” Mereka mematikan televisinya untuk membunuh siaran-siaran yang menyiarkan batas-batas baru yang tidak sejajar dengan batas yang sebenarnya. Mereka masih konsisten menyiarkan batas mana yang seharusnya menjadi pedoman bagi orang banyak. Mereka menjadi hormon pembatas bagi metabolisme di sekitarnya. Mereka juga menyiapkan kayu bakar-kayu bakar baru untuk tetap menggelorakan api perjuangan.

Sayang, jumlah mereka berbanding terbalik dengan hitungan waktu. Sampai suatu saat nanti, batas sudah mutlak ditinggalkan. Tidak ada manusia yang mengenal Tuhannya. Tidak ada pengemis yang mau diberikan harta. Tidak ada kepercayaan dalam diri siapapun untuk mengejar apapun pascatiada. Baru setelah itu, semua akan menyadari betapa pentingnya batas dan betapa perlunya tetap tidak melewati batas.