Backpacking Kediri – Malang

Satu gerbang besar di sudut kota Kediri
Satu gerbang besar di sudut kota Kediri

Jauh sebelum wisuda Oktober 2008 lalu, saya sudah bertekad ingin liburan habis-habisan. Wajar saja, dari awal masuk IPB sudah ada matrikulasi. Tahun depannya semester pendek, lalu praktek lapang, disambung penelitian. Jadi, waktu liburan panjang tidak pernah diisi dengan agenda berlibur. Inilah saatnya pembalasan.

Tadinya saya dan beberapa teman dari SEI (salah satu jurusan di IPB) berniat ke Bali dan sekitarnya. Rencana sudah matang, tiba-tiba sebagian besar mundur karena sudah mendapatkan pekerjaan yang tidak mungkin meliburkan diri selama 10 hari. Di saat kekecewaan itu, Yossy, salah satu senior saya menceritakan tentang aktivitasnya di Kampung Bahasa, Pare, sebuah Kecamatan di Kediri. Tempat ini adalah sentra kursus Bahasa Inggris termurah di Indonesia.

Setelah chating dengan Yossy, saya langsung plot waktu untuk liburan dan meminta izin bos. Disetujui, dua minggu. Sambil saya menunggu waktu liburan itu, saya mencari beberapa cerita tentang kampung bahasa dan beberapa kawasan wisata di Jawa Timur. Bromo menjadi incaran utama yang masuk dalam rencana liburan.

Saya berangkat naik bus Lorena dari Rawa Mangun langsung ke Kediri. Kalau sesuai rencana, bus berangkat pukul 3 sore dan sampai pukul 6 pagi keesokan harinya. Tapi karena ketika itu sedang musim liburan tahun baru, maka kejadianlah bus itu baru berangkat pukul 7 malam, sampainya di Kediri pukul 4 sore. Sehari semalam di bus mengutuki ketidaknyamanan menggunakan Lorena. Mulai dari waktu datang bus yang terlambat sampai supir bus yang merokok. Mengecewakan.

Namun, ada juga hikmahnya. Saya jadi bisa mendapatkan pemandangan bagus dari pagi sampai sore. Satu jam sebelum Ngawi, di kanan kiri jalan terhampar sawah sampai ujung mata memandang. Ke luar Ngawi menuju Madiun juga demikian, keluar Madiun juga masih sawah yang berkuasa. Lebih susah mencari orang daripada sawah. Seperhatian saya, ada 3 tanaman utama: padi, jagung, dan tebu. Ternyata benar kata buku-buku IPS zaman SD dulu, Indonesia adalah negara agraris.

Sampai di terminal Kediri. Menurut berbagai narasumber, saya harus mencari bus Puspa Indah yang menuju Malang turun di BEC, sebuah tempat kursus Bahasa Inggris tertua di Kampung Bahasa. Yossy dan Iffan yang menjemput. Iffan baru saya kenal di Pare. Dia menjadi kawan sekamar saya selama di Kampung Bahasa. Hampir setiap malam kami bertiga hunting makanan di daerah Pare. Terkadang beberapa rekan seatap Yossy ikut hunting. Hunting dengan sepeda yang kebanyakan dari kami menyewanya dari bengkel sepeda. Sepeda masih sangat “in” di daerah ini.

Sebetulnya tidak ada yang terlalu spesial dengan makanan Pare. Perbedaan yang paling mendasar adalah harga, di Pare harga makanan sangat murah. Oya, ada satu lagi keunikan. Di Pare menjamur warung nasi pecel. Kalau di Bogor atau Jakarta kebanyakan warung menawarkan pecelnya saja. Kalau di Pare dan kebanyakan tempat di Jawa Timur, pecel tersebut langsung dicampur dengan nasi. Ditambah kerupuk peyek. Standar harganya Rp2.000/porsi.

Variasi makanan lebih terlihat di alun-alun Pare. Harganya juga lebih tinggi daripada di kampung Bahasa. Untuk mencapai alun-alun, perlu waktu sekitar 10 menit bersepeda dari kos saya di Kampung Bahasa. Alun-alun di Pare ini unik, tumben-tumbenan ada alun-alun di tingkat Kecamatan. Biasanya alun-alun ada di kabupaten. Mungkin ini menjadi salah satu indikator majunya Kecamatan Pare. Pernah satu malam minggu saya main ke alun-alun. Ramainya luar biasa. Malam minggu di alun-alun bukan hanya untuk anak muda, tapi banyak juga orang tua yang membawa anak-anak kecilnya menghabiskan malam di alun-alun. Pedagang bertaburan di malam minggu. Makanan yang membuat saya geli adalah sate bekicot. Banyak yang menjajakan sate bekicot. Mungkin karena banyak persawahan di sini sehingga banyak juga bekicot. Selain pedagang, ada juga jasa rekreasi mobil-mobilan mirip bom bom car untuk anak kecil. Berkelap kelip lampu mobil itu menambah semarak malam minggu alun-alun.

Garuda Park terkadang dijadikan masyarakat sebagai tempat kumpul-kumpul. Garuda Park seperti taman, tapi mini sekali. Patung Garuda kokoh berdiri di atas tugu. Mirip dengan tugu Tani tapi patung Pak taninya diganti dengan Garuda. Di bawah tugu itu, ada taman mini sekali. Inilah yang disebut Garuda Park, atau masyarakat sering menyebutnya GP.

Menurut dinas pariwisata Kediri lewat websitenya, ada dua buah wisata Candi di Pare, yaitu Tegowangi dan Surowono. Saya ikutilah saran dari Dinas pariwisata.

Lagi-lagi dengan bersepeda, saya menuju Candi Tegowangi. Yossy tahu tempatnya, jadi tidak perlu ada acara nyasar. Dua puluh menit sudah sampai. Perjalanan melewati jalan kampung yang jarang ada penduduk berseliweran. Sawah-sawah terhampar di kanan kiri. Beberapa kali saya melihat ada peternakan lebah mini di halaman-halaman rumah warga. Lebah tidak bersarang di pohon tetapi di kotak-kotak seukuran kotak suara pemilu.

Candi Tegowangi tampak samping
Candi Tegowangi tampak samping

Agak kecewa dengan Candi Tegowangi. Jauh sekali dengan keadaan Prambanan atau Borobudur (hanya kedua candi ini yang pernah saya kunjungi). Ukurannya hanya sekitar 10×10 meter. Mungkin kurang. Tingginya hanya sekitar 3 meter. Tidak ada yang berkunjung ke situ kecuali kami. Tidak ada tarif masuk. Semua sangat seadanya di Candi Tegowangi. Bahkan tidak tampak satu pedagang pun di sekitar candi. Di sekeliling candi ada taman mini yang cukup dirawat. Hanya itu poin plusnya.

Setali tiga uang dengan Candi Surowono. Bedanya, candi Surowono punya petugas yang menjaga pintu masuk. Pengunjung diwajibkan mengisi buku tamu lalu dimintai sumbangan seikhlasnya. Saya member 2.000 rupiah, awalnya saya rasa uang sejumlah itu kurang, tapi setelah berkunjung ke Goa dan pemandian Surowono, sepertinya 2.000 untuk hanya melihat-lihat candi kecil itu dirasa berlebih. Taman di Candi Surowono sedikit lebih luas dari taman Tegowangi. Letaknya tepat di pinggir jalan. Menuju ke sana butuh 30 menit bersepeda melewati jalan raya dengan aktivitas yang lumayan padat. Ketika saya berkunjung ke sana, ada dua orang pengunjung lain, ada juga seorang pedagang yang menjajakan lemang. Yah, bisa dibilang candi Surowono satu level lebih maju dari Tegowangi.

Tidak jauh dari Candi Surowono, ada pemandian Surowono dan Goa Surowono. Pemandian di sini bukan pemandian air panas seperti yang saya bayangkan, tapi kolam renang. Ada dua buah kolam renang di dalamnya. Yang besar dan kecil. Yang besar dalamnya sekitar 160 cm sedangkan yang kecil hanya sebatas lutut orang dewasa. Cukup ramai peminat pemandian ini. Airnya juga cukup bersih. Biaya masuknya murah sekali, hanya Rp1.500. Di sekeliling kolam ada kios-kios kecil yang menjajakan bermacam penganan.

Goa Surowono punya tarif masuk yang lebih murah lagi, hanya Rp500. Jangan dibayangkan Goa yang dimaksud terawat dan besar, tidak. Goa berada di bawah tanah rumah-rumah warga Surowono. Mungkin zaman dahulu, Goa ini dijadikan tempat persembunyian atau jalan tikus. Untuk masuk ke Goa, kita perlu turun dulu lewat semacam kubangan kecil. Sepanjang Goa, air tidak henti-hentinya mengalir. Suasana gelap sekali sehingga tidak mungkin kalau tidak membawa senter.

Tak lupa saya juga berkunjung ke Gunung Kelud, wisata andalan Kabupaten Kediri. Saya ikut trip yang ditawarkan dari sebuah kursusan di Kampung Bahasa. Biayanya hanya 20 ribu, sudah termasuk transport, makan siang, snack, dan tiket masuk. Saya juga bingung bagaimana bisa semurah itu. Kami berangkat naik truk. Perjalanan tepat 1,5 jam dari Kampung Bahasa. Sejak pintu masuk, truk harus melewati pendakian yang cukup melelahkan selama 10 menit. Sampai di satu titik dimana truk benar-benar tidak bisa lewat lagi. Dari titik itu, kami harus berjalan sekitar 1,5 kilometer untuk menuju rest area. Perjalanan 1,5 km itu butuh energi ekstra. Walaupun jalanan sudah diaspal dengan baik, tapi bentuknya berupa tanjakan terus-menerus.

Mencapai rest area, kita bisa beristirahat. Banyak kios yang menjajakan makanan. Kalau ingin menguji adrenalin, ada sarana Flying Fox seharga 15 ribu sekali aksi. Pemandangan dari rest area lumayan bagus. Hijau semua di bawah sana. Karakter hijaunya berbeda-beda, tergantung seberapa besar intensitas matahari memolesnya. Kediri terlihat cukup jelas dari atas sini.

Butuh berjalan sekitar 15 menit lagi untuk mencapai terowongan tanpa cahaya. Terowongan ini adalah jalan satu-satunya menuju anak Kelud. Panjang terowongan sekitar 100 meter dengan tinggi hanya dua meter lebih sedikit. Masuk beberapa langkah saja, gulita sudah melanda. Bingkai kacamata saya pun tak terlihat, apalagi teman di sebelah. Patokan satu-satunya adalah sedikit cahaya di ujung terowongan yang semakin dekat akan semakin terang cahayanya. Terowongan cukup terawat. Tidak berbau. Permukaannya rata, tidak ada batu-batuan, jadi tidak perlu takut tersandung.

Setelah lewat terowongan, kita harus menuruni tangga cukup panjang untuk menemukan anak Kelud. Menurut berbagai literature, anak Kelud ini merupakan keistimewaan Kelud. Tapi bagi saya, itu bukanlah apa-apa, hanya onggokan besar batu yang masih berasap-asap.

Bosan dengan anak Kelud, saya menuju aliran air panas dekat rest area. Bagi saya, inilah bagian paling menyenangkan sekaligus melelahkan dari Kelud. Kita harus menuruni tangga terlebih dahulu untuk mencapainya. Tangga yang saya maksud bukan sembarang tangga. Tangga yang tidak bisa kita lihat ujungnya, kita hanya bisa melihat anak tangga yang paling jauh. Ketika kita telah mencapai anak tangga terjauh itu, mata kita masih belum bisa menemukan ujungnya. Terulang sampai beberapa kali, baru sungai mulai terlihat.

Asap mengepul dari sungai itu membentuk gerombolan kabut. Ada dua asal aliran sebelum bertemu di satu titik. Aliran pertama airnya dingin seperti layaknya air gunung. Aliran kedua luar biasa panas. Dari aliran kedua inilah gerombolan kabut tadi berasal. Saya sempat bermain di titik tempat percampuran kedua aliran itu. Walaupun sudah bercampur, tetap dibutuhkan kehati-hatian karena di bagian tertentu airnya masih lebih dari 80 derajat, belum tercampur dengan rata. Tidak ada pengunjung yang berani mencelupkan kakinya di aliran kedua, bisa jadi suhunya mendekati 100 derajat. Bisa benjol kaki dibuatnya.

Untuk kembali, dibutuhkan perjuangan yang lebih besar lagi, tangga tanpa batas tadi harus dilewati kembali, bedanya, kali ini mendaki. Tidak kurang dari tiga kali saya beristirahat sebelum sampai di pangkal tangga. Dari pangkal tangga, kembali harus berjalan sampai rest area, lalu berjalan lagi 1,5 km menuruni jalan aspal sampai ke truk. Sungguh melelahkan.

Anak Kelud masih mengeluarkan asap putih
Anak Kelud masih mengeluarkan asap putih

Secara keseluruhan, menurut saya Kelud biasa saja. Lebih banyak perjalanan melelahkannya daripada kenikmatan pemandangan.

Merasa sudah menggagahi seluruh pelosok Kediri, saya berangkat ke Malang. Kota ini lebih ramai dari Kediri. Mungkin karena banyak universitas yang ada di dalamnya. Mungkin juga karena percepatan pembangunan kota ini lebih tinggi daripada Kediri.

Beruntung saya punya teman SMA yang kuliah di Unbraw, Arya. Dia dengan baiknya menjemput saya di depan kampusnya, lumayan, transport dan akomodasi gratis. Malam itu juga, kami langsung mempersiapkan segala hal untuk perjalanan menuju Bromo. Keesokan paginya, dari rumah Cak Nu, pemilik persewaan truk dan Jeep, kami memulai perjalanan menuju Cemoro Lawang. Lalu di hari berikutnya, saya sudah bisa mencoret target utama perjalanan saya itu. Bromo sangat menyenangkan.

Sekembalinya dari Bromo, Arya langsung mengajak makan di Ikana, sebuah tempat makan yang sangat laris di Malang. Tempatnya sederhana. Makanannya yang luar biasa. Pengunjung rela menunggu 30 – 60 menit untuk dapat mencicipi makanan di sini. Jarang terlihat kursi kosong. Hati-hati dengan pemesanan. Satu porsi di Ikana tidak sama dengan satu porsi di tempat makan lain. Bisa 3 kali lipat lebih banyak. ikana memang di-set untuk pengunjung rombongan. Menurut cerita Arya, di Ikana hanya ada satu kompor. Si pemilik juga berfungsi sebagai koki. Hanya dia yang tahu betul resep makanan Ikana. Karena itulah butuh kesabaran berlebih kalau mau makan di Ikana.

Malang terkenal dengan Apel Malang, terkenal juga dengan agrowisata petik apelnya. Kusuma Agro adalah yang terbesar dalam agrowisata ini. Tidak ada angkutan umum yang mencapai Kusuma. Tapi kita bisa naik ojeg dari terminal Batu sampai di depan tempat penjualan tiket wisata. Tarif ojegnya Rp5.000. Ratusan orang setiap harinya berkunjung ke kebun apel Kusuma. Setelah membeli tiket yang kurang dari 50 ribu (tergantung paket), kita diajak untuk berkeliling kebun sambil diberikan bermacam informasi. Sampai di kebun, kita dipersilakan untuk memetik dua buah apel. Memetiknya harus sesuai dengan yang diajarkan petugas, diputar sampai putus, bukan ditarik. Dari kebun apel ini, gunung Pandarman dan Gunung Arjuna gagah berdiri di ujung sana. Indah.

Saya penasaran dengan Jatim Park yang menjadi rekomendasi kuat dari teman saya. Tempatnya tidak jauh dari Kusuma Agro, tinggal naik ojeg seharga Rp5.000. Ada bermacam wahana di dalam Jatim Park. Bisa dibilang mirip Dufan mini. Ada jet coaster, bom bom car, dsb. Tapi semua wahana itu tidak ada yang membuat jantung saya berdetak lebih cepat, terlalu biasa. Hanya satu yang menurut saya seru, yaitu rumah hantu. Tidak berani saya masuk sendiri ke dalamnya.

Tiga jam cukup bagi saya untuk mengitari seluruh wahana yang ada di Jatim Park, termasuk bird park dan reptile park. Mungkin ini karena hampir semua wahana tidak perlu mengantri. Kontras dengan dufan yang rata-rata wahana perlu 1 jam antrian.

Demikian beberapa alternatif tempat yang bisa dijadikan referensi hiburan pembaca sekalian ketika berkunjung ke Kediri dan Malang. Semoga bermanfaat…=)

Destination:

1. Kampung Bahasa

2. Alun-alun Pare

3. Garuda Park

4. Puluhan tempat makan di Pare

5. Candi Tegowangi

6. Candi Surowono

7. Pemandian Surowono

8. Goa Surowono

9. Menara masjid tertinggi di Kediri

10. Gunung Kelud

11. Kosan Arya

12. Matos (Malang Town Square)

13. Rumah Cak Nu

14. Cemoro Lawang

15. Bantengan

16. Pananjakan

17. Bromo

18. Ikana (tempat makan)

19. Kusuma Agrowisata

20. Jatim Park

21. MOG (Mal Olympic Garden)

22. Rumah Dian

23. Pameran Foto di Perpus Pusat Malang

Cost:

Bus Lorena Jakarta – Kediri 215.000

Makan+wisata Kuliner 328.000

Bromo Trip 478.000

Kelud Trip 20.000

Transpor dalam kota 69.000

Kosan 2 minggu 70.000

Biaya sewa sepeda 2 minggu 20.000

Program di Kampung Bahasa 44.000

Buku Program 35.000

Masuk Jatim Park 30.000

Kereta Bisnis Bangunkarta 150.000

TOTAL 1.459.000