Masyarakat Cinta Produk Murah

Tulisan ini dimuat dalam Majalah Agro Observer tahun 2010

Ketika dihadapkan dengan pilihan produk lokal dan produk impor, segolongan besar masyarakat masih sangat memperdulikan harga, tidak peduli dengan siapa pihak dibalik produk tersebut. Daya beli yang rendah masih menjadi masalah utama bagi sebagian besar konsumen Indonesia. Apakah fenomena ini tidak mempunyai efek yang berarti?

Tidak sulit menemukan produk-produk buah impor di Indonesia. Baik pasar becek maupun pasar modern, hampir semuanya menjajakan produk buah impor di samping produk buah lokal. Konsumen menanggapinya dengan banyak cara. “Kecenderungan masyarakat Indonesia melihat produk luar itu lebih menarik dan lebih bergengsi itu masih kuat. Tapi ada juga kelompok masyarakat yang karena tidak punya pilihan lain, maka di membeli produk yang mampu dia beli saja,” kata Husna Gustiana Zahir, ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Senada dengan pernyataan tersebut, Hartoyo, ahli perilaku konsumen dari IPB, mengatakan bahwa konsumen Indonesia lebih suka dengan produk-produk luar negeri. “Problemnya memang kadang-kadang harganya, rasanya, mungkin juga karena gengsinya. Orang membeli produk luar itu terlihat lebih bergengsi,” katanya.

Tentunya ini menjadi kabar buruk bagi produsen lokal. Konsumen Indonesia justru lebih condong ke produk impor. “Keadaan ini tidak baik bagi Indonesia untuk ke depannya karena bisa mematikan produsen lokal. Selain itu, claim untuk produk-produk impor juga sulit dilakukan. Memang importir bertanggung jawab, tapi tidak langsung ke produsennya,” jelas Husna. Ia juga mengatakan bahwa risiko keamanan produk impor, terutama buah dan sayur, juga tinggi. “Kita harus hati-hati dengan residu pestisida yang ada dalam buah-buah impor tersebut,” katanya. Jadi, jelas produk buah impor bisa memberikan efek negatif tidak hanya bagi produsen lokal saja tapi juga konsumen lokal. Sayangnya, masyarakat tidak terlalu ambil pusing dengan itu. Yang penting di masyarakat bagaimana supaya bisa mendapatkan produk murah.

Berlawanan dengan Husna dan Hartoyo di atas, menurut Gardjita Budi, Direktur Pasar Domestik PPHP, Deptan, pandangan kesadaran akan pentingnya produk dalam negeri itu positif. Selain itu, konsumen Indonesia tidak mempunyai pilihan lain. Produk impor memang bagus, tapi harganya tidak sesuai dengan daya belinya. “Kedua alasan tersebut membuat saya optimis kecenderungan untuk mencintai produk dalam negeri semakin membaik,” kata Gardjita.

Hasil investigasi di lapangan memang sesuai dengan pernyataan Gardjita. Jeruk mandarin pada awal bulan Agustus ini sulit ditemukan di pasar becek di daerah Bogor. Mau tidak mau, masyarakat membeli jeruk Medan.

Produk durian juga demikian, di pasar-pasar becek, yang masih menjadi pasar utama di Indonesia, sulit ditemukan durian-durian impor. Harga durian impor memang sangat jauh di atas harga durian lokal, demikian juga dengan mutunya. Durian impor baru dapat ditemui di supermarket-supermarket besar. Hal ini juga menjadikan konsumen durian Indonesia terpaksa membeli durian lokal karena memang cuma itu yang mampu dibelinya. Hanya golongan menengah ke atas yang mampu membeli durian impor.

Berbeda jauh dengan produk-produk pertanian di pasar modern. Foodmart di sebuah tempat perbelanjaan di Bogor menjajakan banyak produk buah segar impor. Salah satunya adalah apel. Produk-produk apel impor seperti apel Fuji dari Jepang, apel Australia, dan apel Guandong dari Cina mudah sekali didapatkan di Foodmart. Di tempat lain, Pasar Induk Kramat Jati, pedagang lebih banyak mengambil apel Fuji dan apel Guandong. Hal ini mengindikasikan memang permintaan akan produk olahan impor tersebut cukup tinggi.

Untuk beberapa komoditas buah memang wajar Indonesia impor karena untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri masih belum mampu. “Produk apel impor beredar di mana-mana memang wajar. Tapi kalau produk-produk impor tersebut bisa kita tanam sendiri seperti pisang dan jeruk maka kita harus bergegas memperbaiki diri,” kata Gardjita.

Selain produk segar, produk olahan impor juga mudah sekali didapatkan di Foodmart, seperti susu, jus, dan yoghurt. Ketiga produk ini harganya jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan produk sejenis buatan lokal.. Namun, karena harganya yang bisa berlipat-lipat dibandingkan produk lokal, jadi produk olahan impor ini hanya dibeli oleh golongan masyarakat dengan tingkat ekonomi trertentu saja.

Permasalahannya sekarang, Indonesia sudah terlanjur masuk ke dalam liberalisasi perdagangan. Sehingga tidak sulit bagi produk-produk luar untuk masuk ke Indonesia. menurut Hartoyo, banyaknya produk-produk impor, dalam hal ini buah impor itu akan menciptakan permintaan yang berlanjut untuk ke depannya. “Yang saya lihat adalah fenomena supply create demand,” katanya.

Handito Hadi Juwono, pengamat produk-produk Indonesia, mengatakan bahwa Indonesia sudah kebablasan dalam melakukan liberalisasi perdagangan. “Cobalah kita stop sejenak liberalisasi, paling tidak sampai 2009. Berdayakan produk lokal dahulu, baru setelah itu silakan kalau mau digenjot lagi,” tuturnya.

Pemberdayaan produk lokal bisa dilakukan dari dua sisi, produsen dan konsumen. Produsen memperbaiki kualitas produknya sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat. Konsumen menumbuhkan kecintaan akan produk-produk dalam negeri.

Perbaiki Kualitas

Jalan yang paling rasional dalam menanggapi konsumen rasional adalah dengan memperbaiki kualitas. Memang mudah dikatakan tapi sulit dilaksanakan. Menurut Gardjita, peningkatan kualitas produk-produk Indonesia memang nyata adanya. “Sudah terbukti dari statistik bahwa produktivitas dari sebagian besar produk pertanian kita meningkat. Produksinya juga jadi meningkat. Kalau produktivitasnya meningkat maka harga akan lebih bersaing,” katanya. Sayangnya, pencapaian peningkatan kualitas produk Indonesia tidak secepat pencapaian negara-negara lain. “Ya, memang kita harus lebih giat lagi dalam meningkatkan kualitas produk,” kata Gardjita.

Selain dengan peningkatan kualitas, produsen lokal juga bisa berkontribusi dalam mengusung kecintaan akan produk dalam negeri dengan memasang semacam quote cinta produk dalam negeri seperti pencantuman bahaya merokok dalam kemasan rokok.

Nasionalisme juga bisa terjadi di tingkat produsen. Hotel Sovitel milik Perancis yang ada di Australia mau repot-repot mengimpor air mineral Avian dari Perancis. Padahal, kalau dihitung-hitung, akan lebih mudah jika Sovitel membeli produk air mineral dari Australia. “Ini salah satu bukti bahwa nasionalisme itu ada di dunia bisnis. Kalau sovitel mempromosikan Avian, berarti dia mempromosikan Perancis dan dirinya sendiri,” jelas Handito.

Perlu Preferensi

Kebijakan-kebijakan dari pemerintah juga diperlukan untuk membela produk-produk lokal. Handito mengatakan bahwa memunculkan preferensi produk-produk Indonesia itu perlu dilakukan. “Bentuknya misalnya kalau tidak perlu diliberalisasi ya tidak usah diliberalisasi. Kalau tidak ada alasan kuat untuk impor, seharusnya menjaga produk Indonesia agar tetap hidup itu harus dilakukan. saya ingin katakan ini bukan berarti proteksi, tapi preferensi. Dalam kasus ini, di negara manapun preferensi itu perlu,” kata Handito.

Negara-negara lain juga melakukan kebijakan-kebijakan non tarrif barrier untuk melindungi produk-produk lokalnya. Negara-negara liberal saja masih memproteksi produk-produk mereka. Tidak hanya preferensi, tapi proteksi pasar produk lokalnya. Kembali keberpihakan pada produk lokal harus dimunculkan.

Gardjita berpendapat lain. Menurutnya, kebijakan pemerintah harus mencakupi seluruh kepentingan yang ada di dalamnya. Tugas pemerintah meminimalisir yang dirugikan dan memaksimalkan yang diuntungkan. Keberpihakan pemerintah terlihat pada posisi ini.

Konsumen Harus Ikut Andil

Kecintaan akan produk dalam negeri juga perlu ditumbuhkan dari pihak konsumen. Dengan kampanye-kampanye cinta produk dalam negeri memang itu bisa dilakukan. tapi, menurut Hartoyo, cara yang paling efektif adalah dengan mengajarkan kepada anak sedini mungkin. “Anak dalam keluarga sangat menentukan dalam pembelian,” kata Hartoyo. Sehingga memang seharusnya anak diajari tentang produk dalam negeri kalau berbelanja ke supermarket. Jadi, kalau orang tua secara kontinu mengajarkan tentang kecintaan produk-produk Indonesia, maka dia akan terbiasa membeli produk Indonesia.”Si anak bisa ditanamkan sejak dini melalui contoh atau cerita-cerita yang berkaitan dengan kecintaan terhadap produk dalam negeri.

Produsen juga kadang mendapatkan posisi sebagai konsumen. Bahan-bahan baku yang dipilih oleh produsen bisa produk lokal bisa juga produk impor. Handito juga menegaskan pada para retailer untuk lebih memunculkan produk dalam negeri. “Hipermarket-hipermarket asing yang hidup di Indonesia ya mbo’ sadar kalau dia hidup di Indonesia. kalau sadar, ya tolong berikan kesempatan hidup produk-produk Indonesia, termasuk yang memakai merk-merk Indonesia. jangan semuanya dijejali dengan merk-merk asing.”

Kurang Bergaung

Dua tahun yang lalu, beberapa elemen pemerintah sudah membentuk sebuah Gerakan Nasional Gemar Produk Indonesia. Pemikiran yang ada di dalamnya sudah rinci sekali mengonsep puluhan program untuk meningkatkan kecintaan masyarakat akan produk lokal.

Ada lima kerangka konseptual yang diusung di dalamnya, yaitu membangun kecintaan pada Indonesia, meningkatkan kualitas, memperbaiki produktivitas, membangun dari merk dan kemasan, serta melakukan kampanye terpadu.

Namun, ternyata gerakan tersebut tidak semulus yang diharapkan. Menanggapi tentang keberadaan Gerakan Nasional Gemar Produk Indonesia, Hartoyo merasa gerakan ini kurang efektif. “Terus terang saja, saya tidak tahu apa yang dilakukan di situ, apa hanya slogan saja?” kata Hartoyo. Hal serupa juga disampaikan Husna, “Sebagai suatu kesadaran kolektif kita belum tercapai, tapi dari individu-individu memang sudah banyak.”

Memang ini merupakan PR kita bersama, konsumen, produsen,dan pemerintah. Konsumen dapat menyokong program ini dengan lebih memilih produk lokal. Produsen memperbaiki kualitas. Pemerintah memberikan preferensi kepada produk lokal.