Membedah Pengembangan Sawit Indonesia

Buah kelapa sawit. Dok: kpbptpn.co.id

Awal Mei 2010, Aku mulai terlibat dalam penyuntingan sebuah buku tentang perjalanan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Penulisnya adalah M Badrun, mantan Dirjen Perkebunan tahun 80-an. Fisiknya sudah terlihat sepuh tapi dia seakan menjadi muda lagi ketika diajak berbincang tentang Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Perkebunan. Pada era Badrun memimpin, ia mengembangan PIR dengan memberikan kesempatan pada pengusaha swasta untuk ikut mengembangkan perkebunan kelapa sawit pada tahun 1986 lewat proyek PIR-Trans. Ini yang kemudian menjadi cikap bakal pola-pola lain seperti KKPA. Hasilnya mungkin di luar dugaan, lahan perkebunan sawit di Indonesia berlipat puluhan kali. Investasi luar biasa sehingga menjadikan Indonesia produsen nomor satu di dunia.

Perkembangan produk minyak kelapa sawit yang begitu pesat di pasaran internasional tentu menjadi mimpi buruk bagi produsen minyak nabati lain. Produknya menjadi kalah dan tidak laku di pasaran, terutama minyak kedelai yang produsen utamanya adalah Amerika Serikat.

Perang pertama dimulai. Amerika mulai menghembuskan isu bahwa minyak kelapa sawit merusak kesehatan, terutama jantung. Segala penelitian tentang itu didukung oleh mereka lalu diekspos besar-besaran. Sempat isu itu mengganggu pasar minyak sawit, tapi kemudian Indonesia dan Malaysia patungan untuk membuat penelitian tandingan yang hasilnya menyatakan bahwa minyak kelapa sawit tidak berefek pada kesehatan jantung. Amerika kalah dan kedelainya tetap tidak laku.

Perang kedua, entah siapa dibalik isu ini, tapi lingkungan menjadi topik utama. Perkebunan kelapa sawit dicerca merusak hutan, memusnahkan Orang Utan, merusak tatanan pengairan, dan sebagainya. Kalau untuk ini, menurutku bukan perkebunan kelapa sawit-nya yang salah, tapi penegakan hukum-nya yang kurang tegas. Aturan sudah jelas dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit harus layak secara ekonomi, layak secara lingkungan, dan ramah lingkungan. Kalau ada yang tidak ramah lingkungan berarti dia tidak taat azaz, tinggal bagaimana meletakkan hukum di kepala mereka saja.

Itu yang menjadi perdebatanku dengan seorang aktivis Green Peace di Plaza Semanggi. Mereka claim, penyelewengan itu terjadi di 80% perkebunan kelapa sawit Indonesia. Pertama, Aku belum terlalu percaya dengan data itu. Penyelewengan memang ada, tapi sepertinya tidak sampai setinggi itu. Data seharusnya dibalas data, di situ kekalahanku. Kedua, selama ini orang hanya melihat dampak negatifnya terus yang itu sebetulnya tinggal diselesaikan dengan penegakan hukum yang sesuai, bukan memberangus kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Dampak positifnya bahwa perkebunan sawit Ā membuat 600 M bergulir setiap bulannya di setiap desa PIR, itu tidak pernah diangkat. Berapa ribu orang yang tadinya makan saja sulit sekarang dengan mudah bisa menyekolahkan anaknya sampai sarjana. Berapa ribu usaha yang berputar karena daya beli pekebun yang meningkat pesat. Berapa banyak daerah terisolir yang sekarang bisa terakses dengan baik. Itu semua tidak pernah diangkat.

Aku diberi kesempatan berbincang langsung dengan peserta PIR-Trans di Riau. Dulu, hidupnya sungguh menderita. Ia hanyalah seorang anak buruh tani, strata ekonomi terendah di daerahnya. Sekarang, setelah mengikuti PIR-Trans selama 20 tahun, hampir tidak ada masalah ekonomi yang membelitnya. Dengan mudah ia bisa menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Ini karena perkebunan sawit. Cerita ini adalah prototipe dari banyak petani kelapa sawit yang mengikuti proyek PIR.

Sawit tidak akan pernah berhenti diserang beragam isu karena banyak pihak yang tidak suka sawit berkembang di Indonesia. Direktorat Tanaman Tahunan, Ditjenbun, Kementan, terutama Seksi Tanaman Kelapa Sawit tidak pernah sepi akan pekerjaan. Selalu ada saja yang menanyakan tentang isu buruk kelapa sawit. Jarang Aku lihat orang-orangnya lengkap ada di kantor. Biasanya mereka ada di lapangan, ada saja yang diklarifikasi, ada saja yang dikerjakan.

Jadi, kalau ada pikiran bahwa pengembangan kelapa sawit harus dihentikan, mari kita berdiskusiā€¦