Bukan Sekedar Kompos

Tulisan ini dimuat dalam Majalah Agro Observer tahun 2010

Pupuk Organik. Dok: www.banjarwangi.com
Pupuk Organik. Dok: http://www.banjarwangi.com

Tidak dapat dipungkiri lagi, pupuk organik akan menjadi pilihan yang harus diambil. Selain karena ketergantungan produk bahan baku pada produk pupuk kimia akan menjerat Bangsa ini pada pihak luar, tanah yang ada di Indonesia juga mempunyai kadar keasaman yang sudah melewati batas. Sehingga pupuk organik menjadi penting. Apalagi beberapa hitung-hitungan ekonomis mengatakan bahwa pupuk organik akan lebih mensejahterakan petani. Sayangnya, tidak banyak petani yang tahu akan hal itu. Kebanyakan petani hanya tahu pupuk organik adalah kompos.

Sebuah pidato dari Muhammad Hatta di Sekolah Usaha Tani “SUKAMENANTI” pada tahun 1954 dengan tegas dinyatakan bahwa pertanian Indonesia akan didorong untuk berubah. Penggunaan pupuk pabrikan akan ditingkatkan untuk menambah kesuburan tanah. Ketika itu, petani Indonesia boleh dikatakan masih loyal dengan pupuk-pupuk alami yang didapatnya dari kotoran hewan dan berbagai bahan organik lain. Bung Hatta, dalam pidatonya tersebut, menganjurkan petani untuk mengubah cara pemupukan dari alami menjadi kimia.

Setengah abad kemudian, keadaannya kontras berbalik. Pemerintah, LSM, dan akademisi menganjurkan petani untuk kembali ke pupuk organik karena alasan lingkungan, menghindari ketergantungan bahan baku impor pupuk kimia, dan sebagainya. Bermacam pemikiran logis menunjang pengubahan pola pemupukan kimia menjadi organik.

“Sayangnya, pupuk organik yang ada di benak petani hanyalah pupuk kompos,” kata Krisna, seorang Agronomist dari PT. Pupuk Kujang. Padahal ada biofertilizer yang bisa ditambahkan di situ. Ada unsur-unsur yang bisa memperkaya pupuk organik. Dengan pengkayaan tersebut tentunya hasil yang didapat akan jauh lebih baik dibanding hanya dengan pengomposan.

Kemudian, sudah sejak lama petani menggunakan pupuk-pupuk kimia yang beredar di pasaran. Hanya sebagian kecil saja yang menggunakan pupuk organik. Ditambah lagi sulitnya ditemukan pupuk organik di pasaran, kalau adapun harganya akan mahal sekali. Maka semakin menjadi-jadilah kesulitan pengalihan metode dari pupuk kimia ke organik.

Pernyataan di atas disampaikan oleh Putro Santoso, seorang petani di daerah Dramaga, Bogor. Putro menggunakan 100% pupuk organik untuk tanamannya, padi dan sayur. Namun pupuk yang digunakannya bukan berasal dari pasaran, melainkan buatan tangannya sendiri. Dia gunakan kotoran kambing, kotoran ayam, dan beberapa bahan lain. Putro mengatakan, sulit sekali mendapatkan pupuk organik yang sudah jadi di pasaran. “Di toko-toko pupuk memang ada dijual pupuk organik, tapi itu biasanya ditargetkan untuk pembudidaya kembang. Harganya tidak akan masuk kalau kita gunakan untuk padi,” tuturnya.

Bermain dalam Jumlah Besar

Jalan menuju sebuah perubahan selalu berkelok. Demikian pula dengan pupuk organik ini. Butuh jumlah yang sangat besar untuk penggunaannya. Menurut Dwi Andreas Santoso, dari IPB, kalau kita menggunakan sekam yang punya kandungan N sebesar 1%, sebagai bahan dasar pembuatan pupuk organik, maka untuk menyetarakan jumlah N dengan yang ada pada pupuk kimia akan butuh sekitar 5 ton pupuk, dua puluh kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan pupuk kimia. Bahkan, untuk pengalihan ke organik saat pertama kalinya akan butuh jumlah pupuk yang lebih dari itu. Maka, dibutuhkan banyak sekali penelitian untuk mendapatkan efisiensi yang lebih tinggi.

Kendala besar lainnya ada pada bahan baku. Tidak mudah untuk mendapatkannya secara berkelanjutan. Juga dari tata cara pencampuran bahan baku itu. “Ada anggapan bahwa semua bahan bisa digunakan padahal kan tidak. Katakanlah sampah rumah tangga yang bercampur dengan makanan dan daging. Itu kan tidak boleh sebetulnya. Tidak selalu semua bisa dicampur,” kata Andreas.

Selain itu, kata Andreas lagi, terkadang pupuk organik dapat menyebabkan penyakit pada tanaman kalau pengomposannya tidak baik. Pengetahuan-pengetahuan inilah yang harus dibagi kepada petani.

Lebih Menguntungkan

Sosialisasi bahwa pupuk organik mempunyai manfaat yang lebih banyak ke petani menjadi suatu hal yang sulit dilakukan karena harus mengubah cara pandang petani yang sudah terbiasa dengan pupuk kimia. Padahal, banyak sekali manfaat yang dapat diambil secara langsung oleh petani. Agak sulit membujuk petani dengan iming-iming keberlanjutan pertanian dan isu-isu lingkungan lainnya. Menurut Krisna, petani harus diberikan contoh langsung yang betul-betul bisa dilihatnya.

Hal itulah yang dilakukan PT. Pupuk Kujang. Ada beberapa tempat yang dijadikan proyek-proyek percontohan penggunaan pupuk organik. Semua itu dengan tujuan memperlihatkan langsung ke petani bahwa penggunaan pupuk organik akan lebih menguntungkan.

Memang, kalau kita melihat biaya produksi pada saat awal pemupukan menggunakan organik akan terlihat lebih mahal. Kalau kita ambil contoh dari produk pupuk Kujang maka pengalihan metode pemupukan dari murni kimia ke campuran organik-kimia, petani harus menambah Rp45.000 dari ongkos beli pupuk. Kalau kita merujuk ke saran pemerintah dalam penggunaan pupuk kimia, petani dianjurkan menggunakan 250 kg urea, 75 kg SP, dan 75 kg KCl dalam setiap Hektar lahannya. Sedangkan kalau kita alihkan ke campuran kimia-organik, yang dibutuhkan adalah 250 kg NPK dan 450 kg organik. Harga pupuk bersubsidi di pasaran untuk kimia sebesar Rp1.200/kg sedangkan untuk organik Rp500/kg. Maka, dengan angka-angka tersebut, kita dapat berhitung bahwa petani harus mengeluarkan Rp480.000/Ha untuk penggunaan pupuk kimia murni. Sedangkan kalau petani menggunakan campuran kimia-organik, biaya beli pupuk menjadi Rp525.000/Ha. Selisihnya adalah nilai investasi petani.

Akan jelas terlihat manfaatnya setelah beberapa kali musim tanam. Krisna mengatakan, hasilnya akan lebih baik secara kuantitas maupun kualitas. Kuantitasnya meningkat, tapi Krisna tidak bisa menyebutkan seberapa besar peningkatannya. Kualitasnya juga meningkat. Warna kuning padi hasil dari penggunaan pupuk campuran kimia-organik berbeda dengan hasil dari pupuk kimia, nilai tampilan ini bisa dirasakan petani secara langsung dengan kenaikan harga sekitar Rp100-Rp150 setiap kg nya. Kalau produktivitas sebesar 5 ton/Ha, maka nilai tambah penjualan lebih dari Rp500.000, jauh lebih besar daripada investasi pupuk sebesar Rp45.000 di atas.

Kujang telah merealisasikan teori-teori hitungan tentang pupuk organic di atas lewat proyek-proyek percobaannya. Krisna mengatakan, bahkan sekarang keadaannya petani mencari pupuk organic. Mereka telah melihat temannya yang berhasil kemudian ingin mencobanya. Petani sangat logis dalam berpikir sehingga ketika ada metode yang membuatnya lebih sejahtera, dengan disertai bukti, maka petani akan ikut.

Manfaat ikutan lainnya, penggunaan pupuk akan semakin efisien, tidak lagi 250 kg NPK dan 450 kg organik. Kebutuhan pupuk akan semakin berkurang sampai satu batas minimum kebutuhan hara tanaman. Belum lagi kalau kita bicara efek positif ke lingkungan dan reduksi ketergantungan terhadap luar negeri. Dalam proses produksi pupuk NPK di pabrik Kujang, bahan baku yang digunakan semua dibayar dalam dolar sedangkan penjualan produk akhirnya dalam rupiah. Unsur P dan K didapat dari impor, sedangkan N dari Cirebon, namun pembayarannya memakai dolar. Keadaan yang serba bergantung ini sangat membahayakan posisi Indonesia dalam memproduksi pupuk kimia. Di sisi lain, pupuk organik hanya membutuhkan bahan baku dari kotoran, tumbuhan, dan bahan organik lain yang itu semua bisa didapatkan tanpa impor.

Namun, semua itu baru bisa dilakukan dengan asumsi pasokan pupuk kimia dan organik lancar sampai ke petani dengan harga yang benar harga subsidi. Asumsi tersebut patut dipertanyakan karena berita pupuk langka merupakan cerita lama di negeri ini. Ini yang menjadi PR besar bagi kita bersama.