Sepagi di Kota Reog

Sebetulnya Aku sudah sampai Ponorogo sejak sore 23 Jan 2011. Setelah sebelumnya naik bis dari Pacitan (Rp 15 ribu, 3 jam, non AC). Dan Aku sudah berhasrat ingin jalan-jalan keliling Alun-Alun setelah melihat panggung besar di salah satu sisinya. Tapi hujan turun terus. Apa boleh buat, semalaman ini di dalam saja.

Mudah sekali mencari penginapan. Ada beberapa pilihan di seputaran alun-alun. Salah satunya di Hotel Pantes (kalau dari arah Pacitan, terus melewati Alun-Alun sekitar 100 meter sebelah kanan jalan, ada papan namanya lumayan besar). Semalamnya berkisar Rp 40.000 – Rp 60.000. Rata-rata tiap kamar ada 3 kasur ukuran single terpisah dan 1 kamar mandi di dalam. Di dekat meja resepsionis ada pajangan peta Ponorogo lengkap sama tempat-tempat wisatanya, seperti Padepokan Reog dan Telaga Ngebel. Tempat wisatanya tidak terlalu banyak. Mungkin karena itu Ponorogo tidak masuk hitungan Lonely Planet.

Besoknya, mulai setengah enam, Aku jalan kaki ke Alun-Alun. Banyak hal menarik di sini. Tiap sudut Alun-Alun itu ada patung singa, ada yang lagi tarung, ada yang lagi main sama anaknya, dll. Di beberapa gedung juga sering ada patung singa di halamannya. Mestinya ada alasan kenapa begitu banyak patung singa di Ponorogo.

Banyak juga patung-patung penari reog, di depan jalan RW, di tengah jalan besar, di depan sekolah, di mana-mana banyak patung reog. Biasanya patung-patung itu terdiri dari patung banyak penari dengan penokohannya masing-masing, terus di tengahnya adalah patung kepala reog yang punya banyak serabut-serabut panjang setengah lingkaran. Patung-patung itu biasanya menonjol di dinding-dinding, jadi tidak sempurna 3 dimensi. Mereka terlihat serius melakukan branding Kota Reog.

Setiap tahun, Ponorogo punya perhelatan akbar, Festifal Reog. Pesertanya banyak dari luar Ponorogo. Tapi Aku tidak yakin itu bener-benar dari luar, mungkin iya sebagian krunya dari luar, tapi sebagian besar tetap orang Ponorogo. Walaupun begitu, tetap tidak mengurangi ramainya acara ini. Beberapa jalan di seputaran Alun-Alun disterilkan dari kendaraan. Semua penginapan laris manis. Itu kata orang-orang loh.

Panggung besar yang sudah permanen di salah satu sisi Alun-Alun menjadi pusat perhatian waktu Festifal Reog. Jarang sekali ada Alun-Alun yang punya panggung sebesar ini. Latar panggung adalah bangunan tinggi yang dicelah dengan beberapa pintu menuju back stage. Di tiap sisi pintu ada patung macam-macam, ada yang berupa orang ada yang bukan orang.

Layaknya Alun-Alun pada umumnya, di sekelilingnya ada kantor polisi, pasar (walau kecil), masjid raya, dan bangunan pemerintahan. Tapi bangunan pemerintahan di sini megah sekali. Bangunan berjudul Pemerintah Kabupaten Ponorogo itu menjulang tinggi mengalahkan seluruh bangunan di sekitarnya. Di bagian depannya ada taman kecil yang mengelilingi patung seorang wanita anggun. Lebih ke depan lagi, ada patung seorang pria gagah yang sedang berada di atas semacam dokar yang ditarik beberapa singa (lagi-lagi patung dan lagi-lagi singa).

Patung singa di salah satu sudut alun-alun dilatari Gedung Pemkab Ponorogo. Dok: Iqbal

Satu hal lagi yang unik. Di sisi seberang panggung alun-alun, ada semacam bangunan tak berpintu yang ada TV nya. Memang itu menghibur, tapi Aku bertanya, Apa gak takut dicolong ya? Karena itu ruang terbuka yang semua orang bisa ke situ. Mungkin tingkat kriminalitas di sini begitu rendah, mungkin TV itu dikeramatkan, mungkin ada kejadian mengerikan bagi si pencuri TV, mungkin juga tidak.

Di pinggir jalan yang membatasi kantor Pemkab dan Alun-Alun, Aku melihat seorang ibu tua menjual makanan yang dikerubuti banyak orang. Sepanjang pengamatanku berpuluh menit, pembeli tidak pernah putus berdatangan. Awalnya kupikir ini bubur sumsum karena ada kuah cokelat dan gumpalan putih, tapi ada beberapa cairan lagi yang dicampur ke dalamnya. Cairan cokelatnya pun berbeda, bukan cair, tapi padatan lengket yang disisipi dengan butiran-butiran halus.

“Iki Jenang, Mas,” kata Ibu itu setelah kutanya. Aku yang norak apa memang ini makanan yang cuma ada di Ponorogo? Harganya murah sekali, dua ribu perak! Itu sudah dapat semangkuk penuh. Kalau pembeli mau dibungkus, maka kuah-kuahan dimasukkan ke plastik bening dan gumpalan bubur putihnya dipisahkan dengan bungkus daun pisang.

Mudah juga mencari angkringan (mungkin di sini punya nama lain, tapi konsepnya tidak jauh beda). Aku beli nasi pecal (Rp 3 ribu) dan segelas kopi (Rp 2 ribu). Isi nasi pecalnya ya sama saja, tapi kuahnya lebih kental dibanding kuah pecal di Kediri. Kopi yang dijual itu kopi hasil tumbukan si Ibu sendiri, rasanya memang terasa beda.

Lanjut, Aku jalan menuju pasar, sekitar 2 km. Kupikir pasar tradisional, tapi ternyata beton. Aku tidak tertarik untuk masuk, isinya sudah ketebak.

Tadinya Aku mau mampir ke Telaga Ngebel. Padepokan Reog juga cukup menggoda. Tapi waktunya terlalu mepet, pagi ini juga Aku harus berangkat lagi. Pukul 9 Aku lanjutkan ke Timur via Terminal Bis Ponorogo, sekitar 4 km dari Alun-Alun.