Argopuro Lintas Baderan Bremi

Sebetulnya ini pendakian yang agak tertunda. Tiga bulan sebelumnya, saya sudah berencana, bahkan sudah daftar untuk mendaki Argopuro. Tapi waktu itu peserta yang daftar hanya empat orang, yang bikin biaya jadi membengkak hampir dua kali lipat. Jadi waktu itu saya ubah rencana jadi mendaki Rinjani dengan tetap berharap bisa mendaki Argopuro… suatu saat.

Rupanya, suatu saatnya datang tidak lama kemudian. Kantor tutup seminggu di penghujung tahun. Langsung lah saya daftar lagi. Kali ini peserta terkumpul 12 orang, jadi tidak perlu ada penambahan biaya.

Sekitar dua minggu sebelum keberangkatan, saya sudah pesan tiket kereta dan hotel, ya supaya dapat kursi dengan harga normal, ya naik dikit tak apalah. Kalau pesan dekat hari-H, wah bisa mahal, malah bisa tidak kebagian kursi.

Jadi saya berangkat ke Surabaya pakai kereta Kertajaya “tambahan” pada Sabtu subuh, 24 Desember 2022. Embel-embel “tambahan” mungkin setara dengan “apa adanya”. Biasanya Kertajaya itu, walaupun ekonomi, kursinya satu satu, dan bisa agak dimundurkan ke belakang. Agak beda memang dengan kereta ekonomi pada umumnya yang kursinya 2-3, tegak, dan tidak bisa dimundurkan. Eh ternyata Kertajaya “tambahan” ya begitu juga, kursinya 2-3 tegak seperti umumnya ekonomi. Yah.. terima sajalah. Namanya juga lagi peak season.

Sebelah saya bapak-bapak pensiunan perusahaan farmasi. Kebetulan saya pernah proyek di salah satu perusahaan farmasi global juga, langsung banyak deh kita ngobrol. Salah satunya soal aturan pemerintah yang mengharuskan perusahaan PMA bikin pabrik di Indonesia. Jangan cuma jualan dong. Bagus juga aturan ini. Implikasi negatifnya ya mereka, perusahaan-perusahaan global itu, harus berhitung ulang, efisien tidak nih kalau produksi di Indonesia dengan kejar pasar senilai sekian.

Bapak tersebut juga tanya soal pendakian, berapa biayanya, berapa lama, dll. Dia bilang mau juga tapi istrinya takut suaminya kenapa-kenapa, jadi banyak pertanyaan. Padahal kan kalau banyak pertanyaan, tinggal banyakin jawaban saja ya.

Sampai Surabaya masih sore, langsung saya ke hotel, istirahat. Sengaja saya kasih jeda 1 hari biar bisa istirahat dulu di Surabaya satu malam, sebelum mendaki.

#

Besok malamnya, kita kumpul di Stasiun Pasar Turi. Kenalan deh, dengan teman baru, karakter baru, sudut pandang baru. Hanya satu yang sudah saya kenal sebelumnya, namanya Novandi. Memang kami sudah sering mendaki bareng, dan kebetulan kecepatan mendaki kami sama, jadi suka bareng… di depan.

Selalu saya senang ngobrol dengan kenalan baru. Lumayan kan nambah wawasan dari bidangnya dia. Salah satu yang menarik ada Dimas, dia juru ukur tanahnya BPN. Wilayahnya Kabupaten Bogor, bukan kota loh ya, kabupaten. Yang itu kan luas banget. Tapi ini anak malah tidak bisa Bahasa Sunda. Kumaha iyeu…

Dia cerita, pernah mau ukur tanah, tapi tidak jadi, karena pemilik tanah masih ribut soal bagian tanah warisannya. Yah kasarnya berebut tanah. Si Dimas disuguhi bakso ya makan bakso, disuguhi minuman ya minum. Sampai selesai itu semua, mereka masih ribut. Ya pulang si Dimas. Tidak jadi ngukur.

Memang ya soal warisan tanah ini bisa bikin rusak hubungan keluarga. Rasanya harus sama-sama paham aturan pembagian waris, biar semua ahli waris se-frekuensi. Walaupun kalau sudah se-frekuensi belum tentu tidak muncul konflik, setidaknya mereduksi risiko konflik.

Kami makan nasi bebek dulu dekat stasiun, harganya Rp20.000. Ya memang enak sih nasi bebek di Surabaya. Kata salah seorang tukang kopi dekat hotel, hampir semua tukang nasi bebek di Surabaya itu orang Madura. Dari logatnya sih kayaknya iya.

Mobil datang, apa ya namanya, semacam Elf gitu, kapasitas 18 kursi penumpang. Deretan paling belakang khusus buat tas carrier, karena bagasi belakang tentu saja tidak muat. Itupun juga masih ada beberapa tas yang ditaruh di kursi depan. Ya wajarlah 12 peserta berarti 12 tas carrier. Rata-rata pakai yang 60L.

Menuju basecamp Baderan, lewat kota Probolinggo. Sampai Baderan sekitar jam 3 pagi. Ada 2 rumah di basecamp Baderan, yang keduanya sudah penuh dengan pendaki. Kami datang ya nyempil-nyempil saja cari tempat sisa. Ada 1 kamar yang tentu selalu diprioritaskan untuk wanita. Saya siapkan ulang tas carrier, bersih-bersih badan, lalu ke mushola. Lepas sholat subuh, tidur sebentar di mushola. Lumayan lah bikin badan agak segar.

#

Sekitar jam 8 pagi di Senin 26 Desember, pendakian dimulai. Ini pendakian hari pertama, dari total 4 hari 3 malam. Malam ini ditarget camp di Cikasur.

Dari Basecamp Baderan ke Pos Mata Air 1, kami disiapkan ojeg. Awal berangkat masih terasa normal sampai sekitar 15 menit perjalanan. Motor berhenti. Saya pikir, ah sudah sampai Mata Air 1 nih, tapi mana yang lain? Kok saya mulai curiga…

Rupanya itu separuh jalanpun belum. Tukang ojeg-nya buka jok lantas mengambil rantai untuk diikatkan di sekujur ban belakang! Bisa dipahami rantai ini buat bikin ban menapak dengan kuat ke tanah lumpur.

Setengah jam berikutnya bikin badan pegal. Memang jalurnya itu seperti tanah lumpur. Tidak begitu lembek sih, tapi tentu bukan seperti tanah yang solid. Tukang ojeg-nya bilang tidak akan sampai kalau ban tidak dililit rantai. Ini antik sih. Baru kali ini saya lihat ban dililit rantai.

Rantainya dari mana? Kata tukang ojeg saya, masing-masing tukang ojeg bikin sendiri. Sebagian kecil beli ke temannya yang bisa bikin.

Mata Air 1 berjalan ke Mata Air 2, lalu ke Sabana kecil, lanjut ke Sabana besar, baru deh sampai ke Cikasur. Saya menikmati jalur sepanjang sabana. Nikmat karena sebagian besar jalannya landai, atau hanya mendaki sedikit. Masih oke-lah. Nikmat karena beberapa tanaman berbungaan dengan menampilkan warna yang menarik.

Sebelum sampai Cikasur, saya mampir dulu di Sungai Qolbu. Airnya jernih dan segar banget. Semua botol air saya penuhi. Terus saya pikir, wah mumpung air melimpah, mandi saja lah sekalian. Ya sudah saya mandi di situ. Airnya dingin, tapi masih bisa diterima. Beberapa pendaki lain memanen selada air untuk dimasak. Itu berlimpah di sungai ini, tinggal ambil.

Cikasur itu seperti hamparan sabana luas. Ada beberapa pohon besar yang cenderung didekati pendaki untuk membangun tenda. Kalau bertenda di bawah pohon itu lebih aman dari badai atau angin, makanya lebih dipilih.

Alam cukup bersahabat. Mendung sedikit, tapi tidak hujan, jadi walau jalan di hamparan sabana, tapi tidak kepanasan. Tidak ada hujan juga. Pas banget cuaca begini buat mendaki.

Sebelah tenda kami, ada dua keluarga saling kenal yang membawa anaknya yang rata-rata umur SMP. Hanya bapak dan anak-anak, tanpa ibunya. Salah satunya saya kenal bernama Pak Yongki. Dia mantan petinju yang tinggal di Bremi. Kalimat darinya yang masih saya simpan sampai sekarang: yang penting itu mental berani, daripada kuat. Kalau kuat tapi tidak berani, ya masih kalah sama yang berani tapi tidak terlalu kuat. Jadi di alam itu ya harus berani. Dia berkaca dari pengalamannya bertinju. Walau kuat, kalau mentalnya sudah jatuh, ya kalah.

Sebetulnya itu dia nasihat ke anaknya, tapi saya dengar dan malah juga jadi nasihat buat saya. Kalau yang biasa bertenda ria, pahamlah kondisi ini. Tenda tidak meredam suara. Kita masih bisa dengan jelas dengar perbincangan 3 tenda di sebelah kita. Jangankan omongan, ngorok sama kentut saja bisa terdengar kok.

Porter kami membuat api unggun. Lumayan ini buat penghangat badan. Juga buat keringkan sepatu yang agak basah. Walaupun sebetulnya Cikasur tidak dingin-dingin amat. Saya bisa tidur tanpa pakai jaket. Sleeping bag juga hanya ditutup separuh. Malah tidak pakai sarung tangan dan kaos kaki. Biasanya kan komplit, jaket ditutup penuh sampai kepala, pakai sarung tangan dan kaos kaki, bungkus sleeping bag ditutup sampai leher. Itupun masih kedinginan.

Konon katanya, dulu ojeg itu tidak hanya sampai Mata Air 1, tapi sampai Cikasur. Cukup masuk akal karena memang sepanjang jalur terlihat jejak ban motor. Jejak ban motor itu jadi lelucon karena jadinya pendaki juga harus berjalan ikuti jejak ban itu. Tahu sendiri kan jejak ban itu kecil, hanya selebar sepatu. Jadi kita harus berjalan seperti peragawati yang langkahnya harus lurus, selurus jejak ban.

#

Bangun pagi di hari kedua, saya kurang berminat mencari Burung Merak yang katanya suka muncul di Cikasur. Sudah terlanjur nyaman rebahan di balik sleeping bag, walaupun tidak ngantuk. Tapi sempat terdengar sih suara burung yang kata beberapa orang itu suara Merak.

“Kata beberapa orang” di sini maksudnya ada yang lagi ngobrol di luar tenda bahas suara apa itu. Saya sih tetap di dalam tenda, tapi obrolannya terdengar jelas. Orangnya siapa juga saya tidak tahu.

Cuaca masih bagus. Pendakian dilanjutkan. Kali ini kami menuju Cisentor, Rawa Embik, sampai akhirnya ke tempat camp di Sabana Lonceng.

Cisentor punya sumber air seperti sungai kecil. Saya malah sempat mandi di sana, dan istirahat agak lama. Sebetulnya saya punya misi isi perut di Cisentor. Gelas, garpu, dan mie gelas sudah siap. Tinggal minta air panas. Tapi saya perhatikan kok tidak ada pendaki yang buka kompor. Yah batal deh makan mi gelas. Ada satu pendaki yang tahu maksud saya itu terus menawarkan bongkar tasnya untuk ambil kompor dan gas. Ah jangan, saya tidak enak. Akhirnya makan sosis dan biskuit saja.

Baru di Rawa Embik saya ketemu porter yang lagi asik makan mi. Kompor, gas, dan nesting-nya sudah terpasang. Langsung saya tawari, mau mi gelas? Dijawab tidak, terima kasih. Kalau begitu, saya boleh minta dimasakkan air panas? Tentu boleh, katanya. Jadi deh saya makan mi gelas, walaupun tidak lama kemudian lapar lagi.

Hujan turun. Kecil sih, tapi terus. Jadi harus pakai jas hujan. Perjalanan ke Sabana Lonceng dilanjutkan. Rupanya saya berjalan terlalu cepat. Porter dan guide belum ada yang sampai. Mana hujan tidak berhenti. Karena badan diam tidak bergerak, makin terasa dingin sampai gemetar. Saya merenungkan kenapa berjalan terlalu cepat? Malah jadi salah kan. Jadi kedinginan di Sabana Lonceng. Untung ketemu lagi sama Pak Yongki dan rombongan. Mereka langsung mempersilakan rehat di tendanya dulu sambil nunggu porter dan guide kami.

Baik banget mereka. Malah ditawari minuman hangat juga. Wah betul ini salah satu alasan kenapa sering kali orang yang pernah se-gunung bareng itu jadi dekat. Pertolongan-pertolongan mendasar seperti tempat berteduh dan makan minum itu bisa menyelesaikan masalah yang terasa berat. Dan secara tidak sadar, mungkin karena insting kemanusiaan, kita akan dengan sendirinya berusaha menolong orang lain. Kan jarang banget kalau di kota kita berpapasan saling tegur sapa. Boro-boro tegur sapa, senyum saja tidak. Kalau di gunung, itu menjadi sangat lazim. Malah justru yang tidak lazim itu kalau berpapasan tidak tegur sapa.

Ucapan Pak Yongki di malam sebelumnya dia buktikan sendiri, soal mental berani. Jadi saat itu menjelang Maghrib terlihat babi hutan melintas. Setelah kita dengan jelas melihat ada babi hutan, Pak Yongki langsung membawa pisaunya mengejar si babi. Maksudnya mau membunuh lalu dibuat jadi bahan makanan. Tapi dari sudut lain, ada pendaki yang lari ke arah babi hutan dengan maksud mengusirnya.

Balik-balik Pak Yongki agak kesal karena buruannya sudah keburu diusir sama pendaki lain. Dalam hati saya, ini orang betul-betul berani yah. Anak-anaknya bakal keren nih, suka alam dan berani.

Setelah porter dan guide kami datang, tenda jadi, kami pindah tenda. Terima kasih banyak-banyak untuk Pak Yongki dan rombongannya. Langsung saya bongkar carrier, ganti baju kering, tiup matras, pasang sleeping bag, lalu masuk ke dalamnya. Sabana Lonceng ada di ketinggian 2.975 mdpl, jadi wajar kalau bikin menggigil.

#

Hari ketiga. Ini hari yang paling mencekam dan melelahkan. Tujuan kita adalah menuju 3 puncak, lalu camp di Taman Hidup. Tiga puncak yang dimaksud adalah Rengganis, Argopuro, dan Hyang.

Puncak Rengganis kami tuju tanpa bawa carrier. Jalan kira-kira hanya setengah jam, lalu turun lagi ke Sabana Lonceng. Berkemas, baru deh bawa carrier ke Puncak Argopuro dan Puncak Hyang.

Sejak di Puncak Argopuro, kabut menebal dan hujan kabut mulai terasa. Hujan kabut itu maksudnya hujan yang berasal dari kabut. Seperti gerimis tapi butiran airnya besar. Lepas dari Puncak Hyang, hujan tidak berhenti sampai tengah malam!

Kami kewalahan dengan hujan itu. Serba salah. Lelah mau berhenti, tapi kalau berhenti, mau berhenti di mana? Tidak ada shelter dengan atap. Yang ada hanya pohon-pohon besar dan beberapa tempat datar. Akan tetap kena hujan. Jadi kami tetap pilih jalan terus, sambil berharap hujan reda. Tapi hujan tidak kunjung reda…

Masuk ke hutan lumut, suasana makin mencekam. Kabut semakin pekat, matahari sudah hampir tenggelam, dan memang dasarnya hutan lumut itu agak tertutup, jadi tambah redup. Agak beda suasana yang saya rasakan di hutan lumut. Tidak ada yang bicara, semua fokus berjalan.

Saat itu saya masih pakai kacamata hitam. Ingin rasanya ganti ke kacamata biasa, biar pandangan lebih jelas. Tapi kacamata biasa posisinya ada di tengah tas. Agak butuh waktu untuk ambil kacamata. Kalau saya berhenti, jadi ketinggalan rombongan. Dan saya sungkan untuk minta yang lain berhenti dulu, karena saya tahu semua ingin segera sampai.

Namun tidak sampai-sampai. Matahari sudah betul-betul tenggelam. Head lamp dan senter dinyalakan. Hujan tetap turun membuat jalur becek bahkan menenggelamkan sepatu. Malah ada di satu titik kita merasa buntu. Jalurnya mentok di jalur sungai. Awalnya kami kira itu danau karena agak lebar dan tidak begitu terlihat. Sempat menjelang putus asa, jangan-jangan salah jalan.

Berhenti sejenak. Teman saya mengamati ternyata di ujung sungai ada jalur. Berarti kita harus melintasi sungai itu. Ternyata ada kayu yang bisa jadi pijakan untuk melintasi sungai kecil itu. Saya melintas dulu untuk cek bahwa di seberang sana betul-betul jalur. Ternyata betul, lalu saya kode untuk yang lain melintasi sungai. Perjalanan dilanjutkan. Ini kok tidak sampai-sampai? Tidak ada yang berbicara, semua fokus ke jalan.

Senang sekali ketemu dua buah tenda. Langsung saya tanya, ini betul jalur ke Taman Hidup? Dijawab betul, belok saja ke kiri. Kalau ke kanan menuju Bremi. Lima menit kemudian kami sampai ke Taman Hidup yang tergenang!

Porter kami sudah sampai duluan. Dia hanya bisa membuat sebuah tenda. Sisanya 3 tenda lagi belum dibangun. Bukan karena tidak sempat, tapi memang tidak ada tempat lagi. Sebagian besar camp area tergenang. Kalau pasang tenda, pasti rembes ke dalam.

Akhirnya dibuat jalur air supaya tersisa tempat untuk buat tenda. Mohon maaf porter dan guide, saya tidak bantu, sudah terlalu kedinginan. Saya menggigil di dalam sleeping bag yang agak basah.

Baru jam setengah satu malam kami dibangunkan untuk makan malam. Waktu itu, porter dan guide sempat-sempatnya masak rawon. Terima kasih banyak.

#

Hari keempat, yang ditunggu-tunggu, karena ini harinya turun ke basecamp Bremi. Aneh ya, kita menghabiskan uang, tenaga, waktu, untuk naik gunung. Sudah sampai gunung, eh malah mau segera pulang. Terus setelah sampai rumah, mau naik gunung lagi…

Semua logistik dihabiskan pagi itu. Jadi wajar kalau di piring kami agak penuh dengan lauk. Pagi terakhir, kami makan pakai sop ayam kalau tidak salah. Ada caranya memang supaya ayam bisa awet sampai empat hari.

Sebelum turun, saya sempatkan melihat Danau Taman Hidup. Terasa syahdu sekali. Walaupun airnya diam tidak mengalir, tapi banyak pendaki yang minum air dari Taman Hidup. Termasuk saya. Alhamdulillah masih aman dan sehat sampai sekarang.

Seperti hari-hari sebelumnya, banyak terpelesetnya. Celana jelas kotor penuh lumpur. Sepatu apalagi.

Sampai Hutan Damar, karena ada ojeg, ya langsung ngojeg. Sampai basecamp Bremi langsung cari kamar mandi dan cuci segala yang perlu: sepatu, carrier, baju, celana, kursi lipat, tracking pole. Agak kaget waktu menuju kamar mandi, karena sebelahan sama kandang sapi! Penduduk Bremi terkenal sebagai peternak sapi, penghasil susu dan daging.

­

Penulis: Iqbal

cinta dunia jurnalistik dan rekayasa genatika...

Tinggalkan komentar