Parang via Ferrata

Parang via Ferrata

Pertengahan Agustus tahun ini saya sudah mendaki Gunung Parang (Purwakarta) via Buhun alias seperti pendakian pada umumnya. Kali ini saya naik gunung yang sama tapi via Ferrata alias “naik tangga”. Ferrata itu katanya sih Bahasa Italia, artinya jalur besi.

Sempat saya ngobrol dengan guide dan pemilik warung di basecamp, katanya dulu Gunung Parang ini “dijual” untuk wisata rock climbing, ya manjat gunung yang  memang pakai tangan dan alat seadanya (tali, karabiner, dll). Sepi peminat, akhirnya pemerintah setempat berubah strategi dengan pasang Ferrata ini, jadi lebih luas jangkauan pasarnya. Kalau rock climbing kan jarang banget yang bisa. Kalau pakai Ferrata, masyarakat umum bisa.

Pas memang kalau Gunung Prang dibuat Ferrata karena sejatinya ini adalah gunung batu. Batunya bukan batu kecil-kecil yang terkumpul jadi banyak, tapi memang batunya ya segede gunung itu.

Ada dua pilihan ketinggian untuk mendaki via Ferrata, yaitu 300 m dan 900 m. Gampangnya yang 900 m ya lebih jauh, gitu saja. Jadi perlu kesiapan fisik yang lebih dibanding yang cuma 300 m.

Hari itu Minggu 27 November 2022, pagi-pagi kami sudah bersiap pasang alat safety yang melilit tubuh dan diujungi dengan karabiner untuk bisa dikaitkan ke jalur. Guide memasangkannya satu per satu ke peserta. Ohya, disediakan helm juga untuk wajib dipakai.

Persiapan pasang alat safety

Ada yang unik, asuransi tidak mau menanggung kalau ada kecelakaan pendakian via Ferrata ini. Jadi agak ngeri yah. Soal safety, menurut guide, belum pernah ada kecelakaan. Kalau sampai ada, wah bubar langsung, mana ada yang mau.

Pendakian dimulai. Kita harus berjalan dulu mungkin sekitar 20 menit untuk sampai ke jalur Ferrata. Langsung deh mulai manjat jalur besi. Masing-masing punya dua karabiner yang menjuntai dari alat safety yang terikat di badan. Setidaknya satu karabiner harus terpasang ke jalur. Tidak boleh keduanya terlepas dari jalur. Kelihatannya semua peserta nurut, kecuali guide-nya itu sendiri 🙂

Di tengah jalan menuju tangga besi pertama

Saya melihat guide manjat jarang mengaitkan karabinernya. Mungkin kalau jam terbangnya sudah tinggi, tidak perlu lagi kali ya.

Di beberapa titik, kita harus antri karena jalurnya cukup ekstrem dan harus berjalan satu per satu. Jadi agak lama nunggunya. Yang juga lama, kadang-kadang peserta minta difotokan dulu di beberapa titik, jadi perlu antri.

Danau Jatiluhur terlihat jelas

Kalau lelah, ya diam saja dulu berpegangan ke besi, sambil balik badang, nah nanti terlihat Danau Jatiluhur. Enak dipandang.

Kebetulan waktu saya naik itu tidak hujan dan lumayan berawan. Itu komposisi yang paling pas. Kalau dapatnya pas hujan, ya basah. Kalau pas terang banget, ya panas.

Memang jalur Ferrata itu ya harus pakai ferrata, sangat tidak mungkin mendaki hanya pakai kaki. Kecuali rock climber professional, itu mungkin masih bisa. Saya tidak terbayang kalau tali kita putus, aduh gimana rasanya itu ya. Nyawa kita di tali.

Turun saya tidak lelah, tidak ngos-ngosan seperti kalau mendaki gunung pada umumnya. Yah lumayanlah pengalaman baru. Kami pesan nasi prasmanan ke ibu pemilik warung. Pakai ayam goreng, tahu tempe, teri, kerupuk, sayur asem, lalapan, ditambah sambal yang enak banget, wah lahap banget makannya.

Penulis: Iqbal

cinta dunia jurnalistik dan rekayasa genatika...

Tinggalkan komentar