Masuk Harian

Pernah setahun dalam hidup saya, berkarir menjadi seorang reporter di sebuah Harian Ekonomi Jurnal (bukan nama sebenarnya), sebuah surat kabar nasional yang usianya sudah puluhan tahun. Kantornya di Menteng, Jakarta. Waktu tepatnya itu Oktober 2012 – Oktober 2013. Ini cerita saya selama jadi reporter, siapa tahu ada yang berminat untuk tahu….

Sudah sejak 2005 (masih di kampus) sampai 2012 saya sudah biasa menulis, terutama menulis untuk buku dan majalah. Tulisan mendalam dengan wawancara panjang dari banyak sudut pandang, itu sudah jadi makanan sehari-hari. Intinya, saya tidak kesulitan menulis.

Namun beda ceritanya di media harian. Kalau di majalah saya rata-rata membuat 1 tulisan dalam 3 hari, nah di Harian Ekonomi Jurnal saya dipatok harus setor 3 tulisan dalam 1 hari! Itu belum lagi ditambah kalau ada penugasan wawancara khusus untuk bahan headline. Teman saya di media online lebih edan lagi. Mereka ditarget 10 tulisan per hari, dan rata-rata media online sekitar itu. Memang sih, target tulisannya tidak dalam. Tapi tetap saja membuat pusing.

Pusing…. Itu awalnya….

Sekitar 3 bulan kemudian, mudah sekali membuat tulisan. Tahu kenapa? Karena tulisan itu datang sendiri ke email saya.

Dari mana datangnya tulisan itu? Saya membaginya menjadi dua sumber utama. Pertama dari kawan-kawan sesama reporter yang suka membagi hasil transkrip wawancaranya, yang kemudian saya vermak sana sini jadi tulisan. Saya juga kalau buat transkrip, bagi-bagi ke mereka, jadi semacam simbiosis mutualisme.

Sumber kedua adalah dari badan atau lembaga yang kirim press release. Saya lihat banyak reporter yang plek-plekan apa yang ada di press release itu yang jadi berita. Tapi ya banyak juga yang diolah serius dan dicari lawannya, dibuat cover both side. Kalau saya, tergantung lagi sok sibuk atau tidak. Kalau lagi sok sibuk, minimal ubah judul dan paragraf pertama.

Jadi begitulah hari-hari saya setelah tiga bulan. Sudah tidak kesulitan lagi mencari berita. Malahan, yang saya perhatikan, di press room rata-rata orang ngobrol. Kebanyakan ngobrolnya bukan dalam rangka buat tulisan. Maksud saya, itu bisa jadi indikasi bahwa kejar target tulisan itu tidak seberat yang dibayangkan.

Door stop

Doorstop Interview Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro
Wawancara door stop. Dok: kemenkeufoto.blogspot.com

Kalau berita yang kita dapat hanya dari press release, ya bisa saja. Sering kok teman-teman wartawan tidak ikut liputan dan tidak ke kantor, tapi setoran tulisannya masuk.

Namun, media sering kali diundang untuk liputan atau press conference sana sini. Ya Namanya juga media. Sehari bisa ada puluhan undangan. Rata-rata saya dapat dua undangan sehari. Kalau undangan liputan, ini wadah buat saya gali ilmu, karena biasanya membahas suatu masalah secara mendalam dari sudut pandang beberapa ahli. Kalau undangan press conference, biasanya hanya sekitar 1 jam. Urutannya: pemateri berucap, tanya jawab, tutup, baru terakhir door stop. Eh, habis itu makan-makan deng.

Door stop itu begini, setelah penutupan press conference, kan pemateri bubar keluar ruangan. Nah, kita cegat si pemateri sebelum dia masuk lift atau keluar gedung. Kita tanya apa yang kita mau tanya. Dalam door stop, kita lebih fleksibel bertanya, sampai pertanyaan yang nyelekitpun muncul. Beda dengan di sesi tanya jawab waktu press conference, yang relatif lebih formal.

Bisa juga, door stop dilakukan di kantor tempat nara sumber yang mau kita kejar. Misalnya kami reporter yang ngepos di Kemenkeu, mencegat Menteri atau Dirjen di waktu antara turun dari mobil sampai masuk lift, atau mencegat sebelum ybs keluar makan siang, atau sebelum pulang kantor. Kita biasanya dekati ajudan atau supir ybs, buat kirim info ke kita tentang mobilitas bosnya. Kasih rokok.

Kalau biasa kita lihat di TV berita, banyak wartawan yang menyorongkan perekamnya ke dekat mulut nara sumber, nah itulah suasana door stop. Dari hasil rekaman door stop ini, diketik atau biasa kita sebut ditranskrip, lalu dibagikan ke reporter lain.

Terkait undangan liputan juga, yang sehari rata-rata dua kali itu, biasanya dilakukan di ruang-ruang meeting hotel atau di restoran. Jadi makanan yang disajikan ke kami ya makanan hotel dan restoran mewah. Tidak pernah sekalipun saya diundang terus tidak disediakan makan. Kalau liputan pagi, biasanya saya baru sarapan di tempat liputan. Kue kue dan kopi cukuplah. Makan siang jelas di tempat liputan.

Status sosial reporter juga saya rasakan cukup tinggi. Hal yang biasa buat kami untuk bertemu pejabat bahkan ngobrol ketawa bareng. Hampir tiap hari saya door stop Menteri, minimal Dirjen atau pengamat-pengamat ekonomi yang sering muncul di TV.

Sejak jadi reporter harian, ketika ada pemeriksaan polisi di jalan, saya selalu lolos. “Lain kali lampunya dinyalakan ya,” atau “Lain kali jangan masuk jalur busway ya,” begitu kata polisinya. Tidak pernah dapat surat tilang. Terima kasih pak ya.

Pos

Setiap reporter di tempat saya kerja, ditempatkan di pos-pos tertentu. Saya pegang desk ekonomi makro dan saya ditugaskan ngepos di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian PU. Sesekali disuruh juga ke Badan Pusat Statistik (BPS). Jadi sehari-hari hampir pasti saya nangkring di pos-pos itu.

Kenapa harus tetap nangkring di pos itu walaupun sebetulnya target tiga tulisan sudah tercapai? Karena kita harus tetap update dengan isu yang muncul tiba-tiba, dan isu yang tiba-tiba itu biasanya muncul di pos-pos itu. Kalau redaktur atau pemred di kantor nemu isu menarik (baca di media online atau tetiba ngobrol sama temannya di media lain) tapi kita ditanya hah hoh jawabnya, habislah sudah. Bakal di-bully habis-habisan. “Lo ngepos apa tidur?”

Tapi toh pada akhirnya saya memutuskan keluar dari Harian Ekonomi Jurnal. Kenapanya bisa dibaca di tulisan berikutnya yaa…

Penulis: Iqbal

cinta dunia jurnalistik dan rekayasa genatika...

76 tanggapan untuk “Masuk Harian”

  1. Walaupun bukan reporter yang masuk harian, sedikit banyak saya merasakan juga itu… dikejar deadline, presscon, berita datang sendiri ke email, dan door stop. Awalnya stress, hahaha. Tapi betul banget klo ala bisa karena biasa. Ternyata seru banget dan banyak bahagianya.

  2. Kalau datang ke acara kadang saya duduk di sebelah atau berkenalan dengan jurnalis..
    Lumayan, bisa tukar pikiran sekaligus menambah ilmu.. 😁

  3. Mobilitas reporter itu emang tinggi, tapi ga tau secara rincinya. Bahkan istilah door stop aja aku baru tau. Makasihh bang sharingnya, jadi tau dunia kerja reporter seperti apa 😊

  4. Seru sik kayaknyya, tapi namanya kerja lama-lama juga ada titik jenuhnya. Tapi, kalo baca-baca curhatan jam kerja reporter atau jurnalis itu panjang, nungguin orang buat nyari berita

  5. Gak kebayang kalau harus membuat sepuluh tulisan dalam sehari pusingnya kayak apa. Terlebih jika suasana hati sedang tidak mendukung untuk menulis. Keren banget kalau bisa konsisten sesuai deadlinenya.

  6. Aku tahu istilah door stop sejak bbrp tahun lalu di dunia blogger. Kan sering diundang ke acara peresmian2 dari kementerian tuh ya. Nah, itu bareng para reporter juga. Para reporter sering melakukan door stop untuk ngejar narasumber. Teman2 kantorku juga banyak yg mantan wartawan. Hebat2 banget ya, selama jam kerja, mobile terus di jalan, sementara deadline juga ketat. Kalo aku belum tentu sanggup nih kerja mobilitas tinggi kayak gini 🙂

  7. Dulu sewaktu lulus kuliah dan mengantongi gelar Sarjana Sastra, cita-citaku adalah jadi reporter atau editor, ternyata tak seindah dalam khayalan ketika baca artikel ini. Tak terbayangkan kalau harus menulis 10 artikel sehari. Mengenai copast dari press release, aku sering banget melihat di portal berita nasional berbeda tapi artikelnya sama persis titik komanya. Dulu suka julid liat kaya gitu, sekarang aku ga julid lagi deh, karena yaa memang susah.

  8. Makasih kak sharingnya.. menambah wawasan saya tentang kerja di reporter.. padahal dulu jaman SMA saya sebenernya pengen banget jadi wartawan sebuah koran besar di jawa timur spesifiknya sih di rubrik yang tentang remajanya. Soalnya kayaknya seru dan gaul abis. Haha. Padahal mah jelas kayaknya dibalik itu pastilah tetep deadline tulisan juga tiap hari. Hihi

  9. Jadi wartawan adalah salah satu impian saya ketika masih remaja galau, tetapi nasib menuju arah yang lain.
    Hingga kini masih suka mengikuti dunia reporter atau jurnalistik..dunia yang cukup dinamis menurut saya.
    Ternyata wartawan suka copypaste juga ya…

  10. Kalau punya Kartu Pers, lolos dari tilang ya? Boleh juga wkwkwk..
    Tokoh superhero ada yang berprofesi wartawan, contohnya Clark Kent dan Peter Parker.
    Cuma kalo jadi wartawan, jam kerjanya yang bikin mengurut dada…

  11. Reporter dengan tulisan itu ibarat makanan harian. Pasti menulis jadi mudah yang sulit mungkin mencari topik, ide, atau issue yang berkembang. Jam kerjanya juga luar biasa. Salut sah dengan setoran 3 tulisan per hari. Ikut arisan ajaasih berat mikirnya, mau nulis apa. Dan EBI nya sudah betul atau belum

  12. ohohooo,,, ada serunya ada betenya juga pasti ya jadi reporter. Aku punya beberapa temen yang kerja jadi reporter juga dan ga kebayang pergi kesana-kemari buat ngejar liputan. Hehhe,,, selamat juga ya sudah pindah ke perusahaan IT dan tetap aktif menulis 🙂

  13. hehehehe… kebayang deh.. dulu pernah jadi pengasuh salah satu rubrik 1 halaman full di salah satu media cetak… puyeng juga.. meski banyak tulisan yang masuk.. jatuhnya kita jadi harus seleksi banyak tulisa… kalau gak ada yang sreg akhirnya harus nulis sendiri…

  14. HAHAHAHA KU SEDANG MERASAKAN. Waktu latihan buat release, dengerin statement pembicara, rekam, dan transkrip ke tulisan. Susaaaah! Padahal biasa ngeblog tapi ternyata buat tulisan formal tuh susah.

  15. aku suka nulis, kadang berasa hebat seminggu upload 3 artikel. brasa produktip, liat yg 10 artikel perhari, pekerjamedia online, duh brasa cupu

Tinggalkan Balasan ke Iqbal Batalkan balasan